(Foto: Polisi Melakukan Penangkapan di Stasiun Palmerah/Anisa)

Aksi di Jakarta yang terjadi pada tanggal 25-31 Agustus 2025 menorehkan luka bagi kita semua yang masih memiliki rasa empati, bukan hanya karena tuntutan aksi yang tidak direspons oleh pemerintah tetapi tindakan represif aparat yang terus berulang setiap kalinya.

Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 menerangkan fungsi kepolisian sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Namun nyatanya rakyat terus terpinggirkan dan tidak mendapatkan hak tersebut.

Seperti yang penulis lihat pada tanggal 28 Agustus 2025 di Stasiun Palmerah pukul 09.51, aparat dengan jumlah yang tidak sedikit sudah berada di berbagai titik. Mulai dari tempat tap in atau tap out Kereta Rel Listrik (KRL) dan tangga menuju akses keluar, untuk melakukan penangkapan terhadap massa aksi yang ingin menuju tempat demonstrasi.

Selain itu, aparat bertindak brutal atas demonstrasi yang merupakan respons warga terhadap kebijakan pemerintah bukan suatu hal yang baru dirasakan. Pada pukul 15.40, aparat dengan sengaja menutup akses keluar dari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan menyemprotkan gas air mata secara membabi buta terhadap massa aksi, seakan rakyat adalah musuhnya tanpa mempedulikan apapun termasuk dampaknya. 

Dampak yang langsung bisa dirasakan dalam detik itu juga setelah terkontaminasi. Misalnya, mata menjadi perih atau berair, sesak di bagian dada, batuk dan sebagainya. Efek terparahnya dapat menyebabkan asma bahkan kematian karena tenggorokan dan paru-paru terpapar bahan kimia dari gas air mata.

Massa aksi yang berada sampai malam harus melihat kejadian tragis yang dilakukan oleh aparat, Affan Kurniawan selaku driver online berusia 21 tahun kehilangan nyawa. Saat sedang mengantar makanan ke lokasi yang tidak jauh dari posisi demo, ia terpeleset dan terjatuh kemudian kendaraan taktis (rantis) Korps Brigade Mobil (Brimob) secara tiba-tiba melaju sangat kencang. Massa aksi yang melihat kejadian tragis itu langsung berteriak, mobil sempat berhenti kemudian tetap melanjutkan jalan.

Sejak 2020 hingga 2024 setidaknya Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sudah mengeluarkan anggaran sebesar Rp1,93 triliun untuk pembelian mobil taktis dan kendaraan khusus dengan total 98 unit. Kendaraan taktis dan khusus ini memiliki harga masing-masing antara Rp3 miliar hingga Rp75 miliar, yang seharusnya memiliki fungsi tersendiri sesuai jenisnya. 

Kendaraan yang dibeli dari hasil pajak rakyat, dipergunakan melindas rakyat itu sendiri yang hanya ingin mencari nafkah untuk keluarga. Matinya rasa kemanusiaan aparat sehingga tidak ada satu pun yang keluar dari dalam mobil untuk melihat kondisi korban dan memilih untuk tetap melajukan mobilnya. 

Bukan hanya melindas, aparat juga melakukan kriminalisasi kebebasan berekspresi. Khariq Anhar seorang aktivis mahasiswa yang suka menyampaikan keresahan melalui media sosial. Ditangkap pada 29 Agustus 2025 sekitar pukul 08.00 di Terminal I Bandara Soekarno-Hatta, saat ingin pergi ke Pekanbaru. Khariq mengalami kekerasan berupa pukulan serta teriakan keras.

Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar (UUD) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Namun dalam praktiknya bersuara lantang dianggap ancaman seakan alergi terhadap kritik.

Media sosial digunakan sebagai tempat menyampaikan kritik, meluapkan amarah atau untuk menyebarkan informasi terkait kejadian yang sedang terjadi. Untuk menjadi bukti seperti tindakan represif aparat seharusnya menjadi hak rakyat agar semuanya tahu kalau negara sedang tidak baik-baik saja, nahasnya sering kali pembungkaman terjadi hanya untuk menjaga citra.

Selain itu juga ramai di media sosial tindakan represif, polisi dengan enteng menembak massa aksi hingga terkapar. Lagi dan lagi seakan aparat lupa senjata yang digunakan berasal dari pajak rakyat tetapi digunakan untuk melakukan kekerasan terhadap rakyat.

Kemudian berita duka kembali menyelimuti rakyat Indonesia. Andhika Lutfi Falah, pelajar kelas 11 Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 14 Kabupaten Tangerang. Mengalami kondisi tempurung pecah pada bagian belakang kepala, diduga akibat dianiaya oleh polisi saat mengikuti aksi pada tanggal 29 Agustus 2025. Andhika Lutfi Falah koma selama tiga hari dan menghembuskan napas terakhir pada 1 September 2025.

Pada lain sisi Senin malam 1 September 2025 terjadi penjemputan paksa, yang dirasakan oleh Delpedro Marhaen selaku Direktur Lokataru Foundation. lalu 4 September 2025 polisi melakukan penggeledahan pada kediaman pribadinya. Dalam proses penggeledahan polisi memeriksa beberapa buku-buku, lalu tiga buku tersita.

Dalam aksi yang berlangsung sepekan ini, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menemukan 1.683 orang ditangkap oleh Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya (Polda Metro Jaya). Rakyat Indonesia mempunyai hak untuk bersuara termasuk pelajar ataupun mahasiswa sekalipun, karena mereka sadar akan keadaan negara sehingga aparat seharusnya tidak melakukan penangkapan sewenang-wenangnya. 

Alih-alih berbenah seperti membebaskan yang ditahan karena menyampaikan pendapat adalah hak rakyat, mengusut tuntas tindakan represif yang dilakukan aparat, tetapi justru melakukan pemanggilan pada 15 September 2025, terhadap Muhammad Fauzan dan Fahrul Lubis selaku Staf Lokataru Foundation ke Polda Metro Jaya.

Setelah apa yang terjadi kita bisa melihat dengan jelas kondisi mengenaskan saat ini, aparat yang sering diturunkan saat aksi bukan untuk menjaga keamanan rakyat tetapi supaya tidak ada yang mengganggu kepentingan di atas. Karena slogan aparat “Polri untuk masyarakat” terlihat sangat bullshit yang nyatanya tidak sesuai realitas, tindakan represif terus berulang setiap kalinya dengan dalih “pengamanan secara prosedur”. Prosedur semacam apa yang membenarkan tindakan kekerasan kepada rakyat.




Penulis: Anisa Tri Larasety

Editor: Reysa Aura P.