Cerita pendek ini mengisahkan dua insan di dalam situationship. Yang menggambarkan kehidupan seorang bernama Pie yang seimbang dalam pertemanan, akademik, keluarga, bahkan rival yang bernama Nolan ternyata menjadi partner sejatinya. Nolan sendiri juga seimbang dalam akademik dan pertemanan, namun bagi dia tidak dengan keluarganya. Pie adalah anak tunggal, sedangkan Nolan anak pertama dari dua bersaudara. Mereka mempunyai hobi yang sama seperti Pie hobinya melukis, mendengarkan musik, dan bernyanyi lalu Nolan hobinya bermain basket, juga bermain gitar bass.
Di sudut ruang seni yang tenang, suara gitar bass pelan mengalun, memecah keheningan dengan dentingan nada-nada yang dalam. Pie duduk di depan kanvas putih, kuas di tangan, sesekali menyenandungkan lagu. Di sampingnya, Nolan tengah menyetel senar gitarnya. Bibirnya menyunggingkan senyum iseng. “Kue pie, gua yakin tadi suara lu barusan fals,” ucap Nolan, sekaligus menggoda Pie.
Pie menghentikan jemarinya yang sedang melukis, lalu mengangkat satu alisnya tanpa menoleh. “Gua juga yakin, sebenarnya lu yang ga bisa bedain mana fals dan vibrato.” mereka pun tertawa pelan, dengan Nolan mengusak rambut Pie. “Gua bercanda kue pie." lembut sangat lembut suara itu masuk ke dalam gendang telinga Pie hingga dentuman tak terduga muncul, membuat Pie tersenyum.
Meski Pie dan Nolan adalah rival yang sering saling sindir ya, itulah dinamika mereka. Dulu, mereka musuh bebuyutan Pie si anak IPA, ambisius yang selalu jadi top 3 dan Nolan si anak IPS, eksentrik dengan prestasi yang sama cemerlangnya di jalur berbeda. Rivalitas itu tumbuh sejak ospek sampai lomba antarjurusan. Tapi, nyatanya siapa yang sangka dari ejekan dan kompetisi, lahir lah sebuah perhatian yang tak terucap.
Yang terlihat, memang mereka berbeda, tapi serasi. Pie menjalani hidupnya yang nyaris seimbang keluarga harmonis, akademik gemilang dan pertemanan yang hangat, dan Nolan, ia juga tak kalah cemerlang dalam pelajaran dan lingkaran sosialnya. Tapi, di balik tawanya yang hangat, ada luka dari keluarga yang tak pernah benar-benar ia rasakan kehangatannya itu. Hubungan dengan orang tuanya renggang, terlebih dengan ayahnya Nolan dan rumah lebih sering terasa seperti tempat singgah ketimbang tempat pulang.
Sampai di suatu malam saat Pie dengan Nolan duduk bersebelahan di rooftop gedung apartemen, Pie bertanya “Nolan…” tidak lama Nolan pun menengok ke arah Pie seraya menatap lekat mata Pie yang terlihat ingin mengajukan sebuah pertanyaan serius, “Kalau lu bisa nyari rumah baru, apa lu bakal pergi”.
Nolan pun terdiam cukup lama. Suara hembusan angin di atas rooftop itu bahkan terdengar lebih jelas dari suara Nolan saat menjawab. “Mungkin ngga, soalnya gua udah nemu rumah baru ya walaupun belum punya atap resmi si.” Ia menoleh, dan menatap Pie. “Lu ngerti maksud gua?” Pie hanya tersenyum dan mengangguk. Ia mengerti, tapi dalam pemahaman itu muncul ketakutan dalam dirinya.
Situationship. Hubungan tanpa definisi mereka saling tau perasaan masing-masing, saling menjaga, saling peduli bahkan lebih dari sekedar “teman” biasa. Tapi tak pernah ada kata “jadian” dan tak ada pengakuan, hanya perhatian yang terselip di antara candaan dan rindu yang selalu tertahan di tiap jeda waktu.
Di sekolah semua orang tahu tentang Pie dan Nolan bukan sebagai pasangan, tapi dua bintang yang sering bertabrakan dan kini bersinar berdampingan. Mereka menjadi panutan banyak siswa. Pie dengan keseimbangan waktunya yang nyaris sempurna, dan Nolan dengan senyum dan gaya santainya yang membuat semua orang nyaman sekaligus terpikat.
Tapi, Nolan itu terkadang bisa sangat menyebalkan dan clingy terhadap Pie yang ingin serius. Justru, dalam kekonyolan yang dibuat. Nolan itu berhasil membuat Pie merasa utuh. Di sisi lain, Pie selalu mendukung Nolan dalam diam, ia tau bahwa Nolan jarang sekali pulang ke rumahnya, Nolan lebih memilih menyibukkan dirinya dengan basket, lalu bermain musik agar tak tenggelam dalam kesunyian. Maka, Pie akan menyediakan ruang untuk Nolan bercerita, ruang untuk dia bersama dan ruang untuk jadi diri sendiri.
Hingga muncul sebuah momen, di mana setelah kompetisi seni dan musik antarjurusan yang tentunya dimenangkan oleh mereka berdua, dalam kolaborasi tak terduga Nolan mengajak Pie duduk di tribun basket tempat favoritnya Nolan.
Nolan pun melirik Pie sekilas, hingga ia bersuara, “Pie, gua tau lu pasti juga ngerasain hal yang sama walaupun gua juga sebenarnya ngga tau kita ini apa” Nolan tertawa pelan “Tapi perlu lu ketahui satu hal, lu itu rumah spesial yang gua punya sejauh ini, dan gua sayang sama lu, Pie” Pie terdiam, hatinya hangat sekaligus takut. “Kenapa baru sekarang ngomongnya?” bisiknya.
Nolan menatap Pie dan menghela nafasnya, “Karena baru sekarang gua sadar, semua yang seimbang dalam hidup lu itu bikin gua takut jadi beban. Gua bukan orang yang utuh di rumah, tapi kalau lu ngizinin, gua pengen jadi orang yang utuh di hidup lu,” Pie tersenyum sambil menepuk-nepuk tangan Nolan, lalu ia bersandar di bahu Nolan. “Kita mungkin ga punya definisi lan tapi kita punya arah. Dan gua izinin itu,” ujar Pie.
Waktu berjalan terasa singkat, mereka tetap menjalani hidup masing-masing dengan keseimbangan yang berbeda. Pie masih aktif di lomba seni dan akademik, dan tetap menjadi tempat curhat untuk teman-temannya. Nolan sendiri masih bermain basket, membawakan lagu-lagu melankolis dengan gitar bassnya di pentas kecil sekolah.
Mereka bukanlah pasangan dengan label, tapi mereka saling tau isi hati. Di dalam dunia yang penuh tuntutan dan banyaknya ekspektasi, mereka memilih untuk saling menemani dengan ruang, waktu, dan pemahaman. Terkadang, keseimbangan itu bukan soal kesempurnaan, tapi tentang siapa yang tetap berdiri bersama, bahkan saat semuanya terasa tidak pasti.
Penulis: Nesya Ajeng Murtiatin





0 Comments