(Foto: Cover Buku Selamat Malam, Kawan!/goodreads.com)

Judul : Selamat Malam, Kawan!

Penulis : Muhaimin Nurrizqy 

Penerbit : Teroka Press 

ISBN : 978-623-93669-7-1

Jumlah Halaman : vi + 74 halaman 

Tahun Terbit : 2024


kapan lagi

kita bisa menulis 

puisi cinta 

ketika negara

ikut memaksa

untuk bekerja. 

kerja kerja kerja. 

sampai gila, 

sampai mati.

Sering kali saya mengalami dan melihat orang-orang membuka laptop untuk bekerja di dalam padatnya transportasi umum, sembari berlalu-lalang di Jembatan Penyeberangan Orang (JPO), serta saat berkencan pada akhir pekan juga harus mencuri waktu untuk tetap menyelesaikan pekerjaan. Dengan demikian, penggalan bait puisi di atas bagi saya merupakan luapan kekesalan dan pengingat bahwasanya negara merampas waktu kita hanya untuk bekerja. Sampai tidak sempat mencari cinta, bercinta, ataupun sekadar menulis puisi cinta. 

Karya tersebut ditulis oleh Muhaimin Nurrizqy, berjudul “serahkan kepada malam” termuat dalam bukunya yang diterbitkan oleh Teroka Press pada tahun 2024 serta meraih Juara 1 Sayembara Manuskrip Puisi Dewan Kesenian Jakarta 2023, yakni “Selamat Malam, Kawan!”.

Muhaimin Nurrizqy merupakan penulis yang lahir dan besar di Padang, buku pertamanya adalah kumpulan cerita pendek berjudul “Sandiwara 700 Tahun Sebelum Masehi” diterbitkan pada 2019, ia juga menjadi pemenang pertama dalam penulisan kritik film yang diadakan oleh Pusbang Film, Kemendikbud (2023). Kemudian, dirinya juga berkegiatan di dunia perfilman, film pertamanya, yakni “What Eri Testifies at the End of the Roll” (2021), masuk ke dalam program Candrawala di Arkipel Jakarta International Documentary & Experimental Film Festival 2022. Akan tetapi, dalam tulisan kali ini saya hanya fokus membagikan pengalaman setelah membaca buku terbarunya, yaitu “Selamat Malam, Kawan!”.

Terdapat 30 puisi di dalam buku tersebut yang membicarakan mulai dari urusan cinta, penggusuran, lapar, korona, hingga perihal negara. Hal tersebut dibalut dengan metafora ataupun bahasa yang sederhana, dekat, dan menjadi melekat bagi saya sebagai pembaca, tetapi dalam puisinya juga mengandung satir serta kental makna.

Muhaimin Nurrizqy juga menggunakan kata-kata di dalam puisinya seperti pantek, njing, kalera, kimak, nciang, dan lain-lain, sehemat bacaan saya sedikit sekali penulis menggunakan diksi tersebut di dalam puisinya. Akan tetapi, berbeda dengan penulis buku yang sedang saya bahas ini, ia justru tak segan-segan menumpahkan kata makian tersebut di dalam puisinya dan justru bagi saya itu seperti ada kedekatan tersendiri terhadap pembaca, layaknya sedang mengobrol bersama kawan di tongkrongan.

Pemilihan kata yang terdapat dalam buku tersebut tidak ndakik-ndakik, sehingga saya sebagai pembaca awam terhadap puisi atau dapat dikatakan tidak paham perihal sastra, menjadi tidak sakit kepala dalam memikirkan arti atau maknanya saat sedang membaca maupun setelah melahapnya, melainkan seperti ada kawan yang mau mendengarkan dan menemani duduk bersama-sama saat berteriak, tertawa, marah, menangis, getir, dan hancur selayaknya manusia yang sehari-harinya ditertawai keadaan juga dipukul kenyataan.

Kemudian, puisi di dalamnya yang berjudul “jalan bercabang dua”, “metabolisme”, “tak ada waktu”, dan “liang telinga” mencoba membicarakan mengenai penggusuran lahan dan pejabat negara yang menyebalkan. Pembahasan tersebut menurut saya sangat menarik, karena konflik agraria akibat Proyek Strategis Nasional (PSN) yang terjadi sepanjang tahun 2020-2023 sebanyak seratus lima belas (115), data tersebut saya dapatkan dari Kompas. Serta, yang terjadi pada warga Perkebunan Padang Halaban, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Sumatera Utara. Terancam digusur oleh PT. Sinar Mas Agro Resources and Technology (PT. SMART).

Dengan demikian, puisi-puisi yang terhimpun di dalam buku ini merupakan persoalan ataupun permasalahan yang berkelindan dalam kehidupan kita sehari-hari dan pelaku utamanya dari penyebab segala kesengsaraan tersebut adalah negara. Tulisan kali ini akan saya tutup dengan penggalan bait puisinya yang berjudul “nasib berkawan”.

senang kita mendengar sabda telernya,

“tidak ada hikmah yang harus dipetik dari

masalah hidupmu, kawan!”

“dunia pantek ini, ya, akan begitu-gitu saja.”




Penulis: Bintang Prakasa

Editor: Reysa Aura Putri