(Foto: Aksi Kamisan ke-889/Nandana)

Marhaen, Jakarta – Berbagai elemen masyarakat memadati Aksi Kamisan ke-889 dengan tajuk “Peringatan 16 HAKTP: Hentikan Kekerasan terhadap Perempuan dan Akhiri Impunitas” di depan Istana Merdeka, Jakarta Pusat. Kamis (04/12/2025). 

Dalam aksi kamisan ini perhatian tertuju pada isu femisida, yang dijelaskan oleh Komnas Perempuan sebagai pembunuhan terhadap perempuan, baik secara langsung maupun tidak langsung karena jenis kelamin atau gendernya. Tindakan ini muncul dari sikap superioritas, dominasi, misogini, dan rasa memiliki, sehingga membedakannya dari pembunuhan biasa. 

Litwina Maurin, selaku salah satu peserta Aksi Kamisan, menekankan pentingnya pemahaman masyarakat terhadap istilah femisida. Tanpa kesadaran tersebut, pola kekerasan yang spesifik terhadap perempuan sulit diidentifikasi maupun diatasi.

“Jika orang tidak mengetahui arti dari femisida, mereka gak akan memahami bahwa mereka juga bisa menjadi korban dari femisida itu. Jika gak banyak orang aware tentang isu femisida ini, kami gak akan bisa membawakan isunya dan menghilangkan kekerasan terhadap perempuan secara keseluruhan,” ujar Litwina Maurin dari Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kamis (04/12/2025).

Data dari Jakarta Feminist juga menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2024 terdapat 209 perempuan yang terbunuh atau rata-rata satu kasus setiap dua harinya. Dari jumlah tersebut, 43% bisa dicegah jika pola femisida dikenali lebih awal, 53% terjadi di rumah oleh orang terdekat, 13% melibatkan kekerasan seksual dan 37% dilakukan oleh pasangan intim.

Litwina juga menyoroti bahwa femisida berakar kuat pada sistem patriarki yang masih mengakar di masyarakat. Budaya patriarki menempatkan laki-laki pada posisi superior dan memberikan kontrol atas perempuan, baik di ranah publik maupun domestik. Pola pikir ini yang menormalisasi kekerasan terhadap perempuan dan menimbulkan sikap merasa “memiliki” perempuan.

“Ini bersumber dari patriarki, karena patriarki adalah suatu yang bukan hanya struktural tetapi kultural juga. Dari kecil kita sudah diajarkan nilai-nilai patriarki di mana perempuan dipandang lebih rendah dibanding laki-laki sehingga diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan dianggap sebagai suatu hal yang dinormalisasikan atau hal yang layak untuk terjadi. Karena pada sudut pandang patriarki perempuan tidak memiliki nilai yang setara dengan laki-laki,” ujarnya.

Selain budaya patriarki masih melekat, Keira, salah satu peserta aksi menambahkan pemerintah sendiri belum cukup tegas untuk menangani kasus femisida yang jumlahnya terus meningkat. Menurutnya, kekerasan berbasis gender harus dibedakan dengan kejahatan-kejahatan biasa.

“Kami ingin berterima kasih pada pemerintah karena telah membuat UU TPKS (Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual), tetapi pada saat yang sama aturan ini belum cukup dengan femisida yang kian marak di Indonesia. Harus ada perlindungan lebih bagi wanita dan juga anak-anak perempuan untuk menangani femisida, kalau dari kami bisa dibedakan kejahatan berbasis gender yaitu femisida dengan kejahatan biasa,” tegas Keira. Kamis (04/12/2025).

Peserta aksi menekankan pentingnya pengakuan femisida sebagai kejahatan berbasis gender. Tanpa itu, upaya menghapus kekerasan terhadap perempuan tidak akan tuntas, karena pengakuan masyarakat dan pemerintah penting untuk mencegah kekerasan berulang yang berujung femisida.




Penulis: Nandana Arieanta Putra P. 

Editor: Reysa Aura P.