Sekitar 4,2 juta pekerja rumah tangga di Indonesia bekerja tanpa perlindungan hukum yang layak. Ironisnya, profesi ini belum mendapatkan pengakuan penuh dan hak yang setara dengan pekerjaan lain. Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) yang telah diperjuangkan sejak 2004 kini memasuki tahun ke-21, tetapi pembahasan RUU nya masih terhenti di parlemen.
Pada September 2024, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyetujui RUU PPRT untuk masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas periode 2024-2029. Keputusan ini memberikan harapan baru setelah Rencana Undang-Undang (RUU) tersebut tidak disahkan pada periode DPR sebelumnya. Momentum semakin menguat ketika Presiden Prabowo Subianto pada Hari Buruh, 1 Mei 2025, menjanjikan pembahasan persoalan ini dalam waktu kurang dari tiga bulan. Janji tersebut menjadi angin segar bagi jutaan pekerja rumah tangga yang sudah lama menanti kepastian hukum. Tetapi hingga awal Desember 2025, janji presiden tersebut belum terwujud.
Pembahasan yang dimulai dengan serangkaian Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada Mei 2025, prosesnya lambat karena RUU ini kurang memberikan kepentingan atau keuntungan signifikan bagi pihak-pihak yang memiliki kewenangan dalam pengambilan keputusan. Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR, Bob Hasan, menjelaskan bahwa target tiga bulan yang disampaikan presiden tidak mengacu pada kalender hari kerja biasa, melainkan harus mempertimbangkan masa reses DPR untuk menyerap aspirasi di daerah pemilihan.
Sejak September 2025, dari total 34 pasal dalam 11 bab RUU PPRT, baru 22 pasal yang telah selesai dibahas oleh Panitia Kerja. Masih tersisa 12 pasal yang memerlukan pembahasan mendalam, termasuk isu-isu krusial seperti upah, hari libur, dan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Ketua DPR, Puan Maharani, menegaskan bahwa pembahasan RUU PPRT dilakukan secara komprehensif dan tidak terburu-buru untuk memastikan tidak ada pihak yang dirugikan baik pekerja rumah tangga, pemberi kerja, maupun penyalur. Urgensi pengesahan RUU PPRT semakin nyata melihat data kekerasan yang mencengangkan.
Jaringan Advokasi Nasional Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT) mencatat ada 3.308 kasus kekerasan terhadap Pekerja Rumah Tangga (PRT) dalam kurun waktu 2021-2024, mencakup kekerasan fisik, psikis, ekonomi, bahkan perdagangan manusia. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga menerima 47 aduan pelanggaran HAM terkait PRT selama 2024, meliputi kekerasan fisik, psikis dan seksual serta diskriminasi upah dan kerja. Data di atas hanya yang terlapor, kenyataannya masih banyak PRT tidak berani melapor akibat perlindungan hukum yang kurang memadai.
Permasalahan mendasar yang dihadapi PRT adalah tidak adanya pengakuan mereka sebagai pekerja yang sah. Selama ini, PRT tidak memiliki status formal sebagai pekerja, sehingga tidak mendapat hak-hak dasar seperti upah minimum, jam kerja yang jelas, hari libur, jaminan sosial, hingga perlindungan dari kekerasan dan eksploitasi. Relasi kuasa yang sangat timpang dan tidak seimbang dengan pemberi kerja membuat mereka rentan terhadap perlakuan sewenang-wenang.
RUU PPRT memuat sejumlah substansi utama, salah satunya adalah perlindungan pekerja. Substansi ini menjadi inti RUU yang mengakui PRT sebagai pekerja sah dan mengatur perjanjian kerja tertulis, termasuk batas waktu kerja yang selama ini tidak jelas
Pembahasan juga mencakup sistem perekrutan PRT berbasis digital yang semakin berkembang, menggantikan sistem konvensional yang rentan terhadap penyalahgunaan. Lebih dari sekadar perlindungan pekerja, kehadiran RUU PPRT juga membawa implikasi penting terhadap pengakuan kerja perawatan di Indonesia.
Pekerjaan perawatan seperti memasak, mengurus anak, membersihkan rumah, dan merawat lansia selama ini tidak dihargai secara ekonomi karena dianggap sebagai tanggung jawab domestik perempuan. Padahal, aktivitas ini justru menjadi fondasi yang menopang produktivitas individu dan rumah tangga dalam pembangunan ekonomi.
Selama lebih dari dua dekade para aktivis pembela hak PRT telah memperjuangkan tanpa henti terkait pengesahan RUU ini melalui berbagai strategi dan upaya, mereka telah melakukan sosialisasi dan demonstrasi di depan Gedung DPR. Meskipun RUU PPRT Mengalami 66 kali revisi sejak 2004, Kesungguhan pihak yang berkuasa untuk meloloskan regulasi ini masih sebatas wacana. Nasib jutaan pekerja rumah tangga tetap menggantung sementara kepastian hukum yang mereka butuhkan terus tertunda.
Kini, tantangan terbesar yaitu pemerintah dan DPR untuk benar-benar mengesahkan nya. RUU PPRT tampaknya masih belum menjadi prioritas utama meskipun telah masuk dalam Prolegnas Prioritas 2025. Melihat dukungan dari berbagai elemen masyarakat dan seharusnya tidak ada lagi alasan untuk menunda.
Pengesahan RUU PPRT bukan hanya soal memberikan payung hukum kepada 4,2 juta PRT, tetapi juga tentang komitmen Indonesia terhadap hak asasi manusia. Setelah lebih dari dua dekade menunggu, sudah saatnya harapan para PRT untuk mendapat pengakuan dan perlindungan dari negara terwujud.
Penulis: Lisa Agustina
Editor: Reysa Aura P.





0 Comments