(Foto: Acara sedang Berlangsung/Nesya)

Marhaen, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menggelar Peringatan Hari Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional dengan tema “Our Everyday Essentials” sekaligus meluncurkan Case Study Delayed in Justice di Hotel Aryaduta, Jakarta Pusat. Selasa (10/12/2025).

Kegiatan ini menyoroti persoalan struktural dalam sistem peradilan yang membuat perlindungan dan kepastian hukum bagi para korban kekerasan, terutama perempuan, belum terpenuhi sampai saat ini. Berbagai prosedur yang berbelit, keterbatasan layanan, serta lemahnya koordinasi antarlembaga menyebabkan proses penanganan berjalan lambat dan tidak memenuhi kebutuhan korban. 

Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) 2024 Komnas Perempuan menunjukkan skala kekerasan terhadap perempuan yang masih sangat tinggi. Sepanjang tahun 2024 tercatat 445.502 kasus kekerasan, angka yang memperlihatkan bahwa perempuan masih menghadapi ancaman serius di berbagai ruang hidup. Dari total tersebut, 330.097 kasus merupakan kekerasan berbasis gender, dan jumlah ini mengalami peningkatan 14,17% dibandingkan tahun sebelumnya.

Komnas Perempuan bersama tim peneliti dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Se Jawa Barat menelusuri sejumlah kasus yang dinilai menggambarkan persoalan struktural yang dihadapi perempuan dalam proses penanganan peradilan kasus kekerasan. Upaya ini dilakukan untuk membaca pola kejadian, menelusuri hambatan yang dihadapi korban, serta melihat bagaimana proses hukum yang memerlukan waktu panjang sehingga berpengaruh pada usaha korban untuk mendapatkan keadilan

“Adanya laporan internasional atau mekanisme HAM Internasional itu menggunakan framework dengan konvensi anti penyiksaan. Dan di laporan kami yang sudah kami susun bersama tim peneliti yaitu LBH Se Jabar dan sudah dijelaskan cukup panjang beberapa kasus, khusus nya ada total 16 kasus yang kami perdalam,” ujar Riski Bangun, Koordinator Divisi Advokasi Internasional Komnas Perempuan.

Keterlambatan penanganan perkara membuat beban korban semakin berat dalam berbagai aspek hidup. Mereka harus menghadapi tekanan emosional dan sosial serta kerugian ekonomi yang terus muncul, sementara proses pemulihan berjalan lebih lambat dari yang mereka butuhkan. Situasi ini membuat korban membutuhkan waktu lebih panjang untuk kembali merasa aman dan stabil. 

Lamanya proses hukum juga berdampak langsung pada kondisi mental korban karena mereka harus menghadapi proses peradilan yang tidak selalu berjalan secara efektif. Dalam banyak situasi, korban justru mengalami tekanan tambahan karena sistem yang kurang responsif terhadap kebutuhan dan keadaan yang mereka alami, sehingga membuat banyak korban memilih untuk diam.

“Proses peradilan atau utusan yang berlarut-larut pada akhirnya tidak memberikan keadilan dan pemulihan kepada korban, yang menjadikan aspek Delayed in Justice (keadilan yang tertunda). Tentunya dari Delayed in Justice kami melihat bahwa sudah memasuki beberapa unsur-unsur terhadap penyiksaan di mana unsur keterlambatan akses peradilan, reviktimisasi terhadap korban, dan juga trauma berkepanjangan dari korban itu sendiri,” ujar nya kembali.

Lingkaran ini terus berulang, dan lambannya penanganan perkara membuat pertanggungjawaban hukum bagi pelaku tidak berlangsung sesuai prinsip penegakan hukum. Banyak kasus yang tersendat ditahap penyelidikan, berlarut dalam proses pemeriksaan, atau tidak memperoleh tindak lanjut yang memadai. Situasi ini menunjukkan bahwa keterlambatan proses hukum memberi ruang bagi pelaku untuk menghindar dari konsekuensi yang seharusnya diterima.

Peningkatan kualitas layanan dan percepatan proses hukum menjadi kebutuhan mendesak agar korban dapat merasakan perlindungan yang utuh. Pembenahan prosedur, penyediaan pendampingan yang memadai, dan akses informasi yang jelas dapat memperkuat rasa aman bagi mereka yang mencari keadilan. Dengan langkah-langkah yang terukur, negara dapat menghadirkan proses yang lebih berpihak pada keselamatan dan pemulihan korban.



Penulis: Nesya Ajeng Murtiatin 
Editor: Reysa Aura P.