Marhaen, Jakarta - Memperingati Hari Hak Asasi Manusia (HAM) internasional, Komisi Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meluncurkan Case Study Delayed in Justice mengenai hambatan struktural yang di hadapi perempuan korban kekerasan seksual dalam memperoleh keadilan di Aryaduta Hotel, Jakarta Pusat. Rabu (10/12/2025).
Salah satu persoalan yang jadi perhatian dalam acara tersebut ialah akses korban kekerasan seksual terhadap layanan pendampingan hukum dan Dana Bantuan Korban (DBK) masih belum optimal. Kendala informasi, aturan turunan yang belum lengkap, serta biaya dalam proses pelaporan menjadi kendala utama. Minimnya sosialisasi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 29 Tahun 2025 tentang DBK menyebabkan banyak korban tidak mengetahui hak mereka, sehingga regulasi ini belum dimanfaatkan secara maksimal.
Peringatan ini berlangsung dengan mengangkat tema global Our Everyday Essentials yang menekankan bahwa hak asasi manusia bukan sekadar wacana normatif, tetapi hak-hak mendasar yang menopang kehidupan sehari-hari, termasuk rasa aman, akses pada layanan, perlindungan hukum, dan kebebasan dari kekerasan. Komnas Perempuan, yang memiliki mandat berdasarkan Nomor 8 Tahun 2024, memanfaatkan momentum ini untuk mengkritik praktik peradilan yang memperburuk kondisi korban sekaligus mendesak reformasi sistem peradilan agar responsif terhadap korban kekerasan seksual.
Kajian yang diluncurkan ini mengidentifikasi fenomena delayed in justice sebagai hambatan paling krusial dalam memperoleh keadilan keterlambatan, pengabaian, dan proses hukum yang tidak responsif terhadap kebutuhan korban. Permasalahan ini tidak muncul secara kebetulan, melainkan berakar pada relasi kuasa yang timpang, bias gender dalam aparat penegak hukum, minimnya pemahaman tentang Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), mekanisme layanan yang tidak terkoordinasi, hingga diskriminasi berlapis yang dialami perempuan.
Koordinator Advokasi Internasional Komnas Perempuan, Rizky Bangun Wibisono, menjelaskan mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual oleh lembaganya, Komnas Perempuan memiliki mandat khusus dalam proses pemulihan korban, tetapi tidak berwenang menyelesaikan kasus secara langsung. Meski memiliki fasilitas layanan spesifik seperti psikiater, lembaga ini tetap mengarahkan korban ke jaringan pengada layanan untuk penanganan lebih optimal sekaligus mengawasi dan mempercepat proses penyelesaian kasus.
“Kami hanya pendampingan kasus, jadi laporan yang masuk ke Komnas Perempuan akan kami berikan dan arahkan langsung kepada forum pengada layanan. Nah, dari forum pengada layanan itu nanti akan spesifik menangani kasus-kasus tersebut misalnya seperti LBH Apik (Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan) Jakarta. Nanti dari rekan-rekan pengada layanan ini yang secara langsung akan menangani mendampingi proses sampai selesai," ujarnya. Rabu (10/12/2025).
Salah satu isu esensial adalah biaya yang harus ditanggung korban dalam proses pelaporan. Meskipun layanan pendampingan hukum tidak dipungut biaya, korban tetap harus mengeluarkan biaya untuk keperluan lain. Ia menekankan pentingnya sosialisasi mengenai hak korban atas DBK yang sudah mulai dijalankan tahun ini.
DBK itu sebuah dana gabungan yang dikelola oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bahwa sedang digodok aturan turunannya dan tentang bagaimana pengelolaan,perhitungan, dan pencairan uang tersebut itu semua sudah diatur dalam aturan LPSK.
"Harapannya teman-teman bisa membantu menginformasikan ini bahwa ketika korban menjadi korban kekerasan seksual khususnya mereka berhak akses akan hal tersebut. Dan dalam proses pelaporan misalnya itu pidana, biasanya laporannya sudah ikut dalam kriminalnya. Misal menuntut sekian belas tahun dan denda pada korban nominalnya sekian. Itu sudah ada itungannya dan harusnya aksesibel. Itu yang kadang masih jadi PR agar korban mengetahui itu," tambahnya.
Ia juga menambahkan bahwa meskipun DBK sudah dijalankan tahun ini, pelaksanaannya masih membutuhkan aturan turunan yang belum ada dan informasinya pun belum menyeluruh. Peraturan Pemerintah (PP) 29 Tahun 2025 merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal 35 ayat 4 Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang memandatkan LPSK sebagai lembaga yang bertugas dan berwenang untuk mengelola penghimpunan, pengalokasian, dan pemanfaatan dana yang diperuntukkan bagi korban TPKS.
Adanya PP tersebut seharusnya menjadi terobosan dalam memastikan korban kekerasan seksual mendapat kompensasi finansial melalui DBK yang dikelola LPSK, khususnya saat pelaku tak mampu mengganti kerugian secara penuh. Melalui Delayed in Justice, komnas perempuan mendorong transformasi sistem peradilan yang lebih responsif terhadap korban, sekaligus menegaskan bahwa akses keadilan merupakan hak dasar yang belum dinikmati perempuan secara setara.
Ke depan, diperlukan koordinasi yang lebih erat antara berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan DBK dapat benar-benar diakses oleh korban yang membutuhkan. Sosialisasi menyeluruh kepada korban, pendamping hukum, dan aparat penegak hukum mengenai hak-hak korban juga menjadi kunci keberhasilan.
Penulis: Lisa Agustina
Editor: Reysa Aura P.





0 Comments