Citra Anderesti Mawardi - Pendiri Komunitas Gerbang Sejarah



(Foto: Bapak Arsilan, tukang kebun Ir. Sukarno saat mendiami rumah Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta
dengan Epolet yang dipakai PKRI (Perintis Kemerdekaan Republik Indonesia)/Citra Anderesti)

7
2 Tahun lalu, tepat 17 Agustus 1945. Ir. Sukarno dan Drs. Mohammad  Hatta, memproklamasikan kemerdekaan Indonesia di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta, (sekarang Tugu Proklamasi). Kemerdekaan yang diraih, bukan karena “membaca teks Proklamasi” saja, tetapi lebih dari itu. Kemerdekaan Indonesia juga bukan hadiah dari pemerintah Jepang. Kemerdekaan Indonesia tercapai berkat merah tumpah darah bangsa Indonesia untuk merebutnya, dan putih sucinya tekad untuk merdeka. Merdeka dengan tidak bergantung pada orang lain, merdeka dengan berdiri di kaki sendiri (Berdikari), dan merdeka karena hak kita sebagai bangsa. Selain mencerdaskan kehidupan bangsa, membangun Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur, cita-cita kemerdekaan juga adanya kesejahteraan.

Perjuangan para pejuang dan pahlawan, di nilai tentu bukan sekedar “tanda kehormatan” yang diberikan pada pemerintah. Karena perjuangan adalah keikhlasan. Para pahlawan memberikan kontribusi pemikiran-pemikiran yang radikal untuk tercapainya sistem menuju kemerdekaan, memberikan tenaga, harta, darah, bahkan nyawa untuk sebuah kemerdekaan. Untuk itu, sudah sepantasnya negara ini membalas jasa para pejuang dan pahlawan yang merebut dan mempertahankan kemerdekaan dengan segenap jiwa raganya. Bukan balas budi, tetapi lebih dari rasa terimakasih.

Pada tahun 2017 ini, di usia 72 tahun kita merdeka, apakah nasib para pejuang kemerdekaan sudah seluruhnya mendapat perhatian pemerintah?

Di tengah-tengah kemegahan perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) tercinta, ternyata masih ada pejuang yang masih bersemangat merayakan ulang tahun kemerdekaan, meski dengan keadaan yang sangat memprihatinkan. Seperti yang penulis paparkan, bahwa berjuang adalah keikhlasan. Pejuang ini pun dengan ikhlas menjalani nasibnya. Pada tahun 1945, pernah menjadi tukang kebun di rumah Ir. Sukarno, di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta (sekarang Tugu Proklamasi), pernah ikut berjuang mempertahankan kemerdekaan RI saat Agresi Militer di tahun 1947. Saat ini, nasibnya terpontang-panting di jalan, dan menjadi seorang pemulung. Rumah gubuknya yang terletak di belakang Tugu Proklamasi Jakarta sudah digusur pemerintah, ia pun tidur di pinggir jalan dengan beralaskan tempat tidur kayu buatannya sendiri. Jika hujan, ia berpindah-pindah tempat untuk tidur. Inilah nasib seorang pejuang yang mempertahankan kemerdekaan RI, tentu pemerintah harus lebih memperhatikan kesejahteraan hari tua pejuang-pejuang kemerdekaan. Tentu saja, jika bukan karena keberanian mereka merebut dan mempertahankan kemerdekaan, kita belum bisa menikmati kehidupan dengan aman, nyaman, dan merdeka. Berkat usaha mereka, kita bisa asik bermain gadget tanpa suara ledakan bom atau tangisan karena kehilangan keluarga tercinta.

(Foto : Bapak Arsilan bersama Penulis Citra Anderesti Mawardi)

"Saya seorang yang buta huruf, tidak bisa baca tulis, tapi saya mengerti arti dari kemerdekaan. Kemerdekaan bagi saya adalah hak seluruh rakyat Indonesia, karena itulah saya mau berjuang mati-matian untuk mempertahankan kemerdekaan. Setelah kemerdekaan, saya tetap berjuang. Kali ini, saya berjuang melawan hidup, bukan melawan tentara Belanda yang senjatanya banyak. Saya sebatang kara, tidak mempunyai rumah, saya tidur di pinggir pagar belakang Tugu Proklamasi ini. Saya hidup dengan hasil mulung, meskipun tidak seberapa hasilnya, tapi saya ikhlas. Saya tidak mau jauh dari Tugu Proklamasi ini, karena saya mempunyai sejarah yang indah di tempat ini. Saya merasa beruntung pernah menjadi tukang kebun di rumah paduka yang mulia Bapak Ir. Sukarno. Meskipun sudah tua, tapi jiwa saya tetap muda. Saya selalu senang, bersemangat, bangga, dan bersyukur masih bisa merayakan HUT RI negeri tercinta saya. Kepada generasi muda, saya selalu berpesan jadilah generasi muda yang terus memperjuangan cita-cita kemerdekaan. Berjuang untuk nusa, bangsa, dan agama. Karena saya pun berjuang bukan untuk saya, tapi untuk masa depan Indonesia, untuk kalian generasi muda," tutur Pak Arsilan

( Potret tempat tinggal Bapak Arsilan, di pinggir pagar belakang Tugu Proklamasi Jakarta/Citra Anderesti Mawardi)