(Sedang berlangsungnya konferensi pers penolakan Civitas LIPI terhadap Revisi UU KPK di ruang seminar utama Puslit politik, Gedung Widiya Graha lantai 11, LIPI, Jakarta Selatan, Selasa, (10/9/2019)/Irfan Fauzy)

Marhaen, Jakarta - Ratusan anggota Civitas Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyampaikan sikap tegas perihal menolak revisi Undang-Undang Nomer 30 Tahun 2002 yang dilakukan Dewan Perwakilan Rakyat(DPR) Republik Indonesia (RI) tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Hal itu, disampaikan oleh Syamsuddin Haris, menurutnya rapat paripurna DPR RI bisa dikatakan cacat secara etik. Karena hanya dihadiri oleh 77 anggota dari 560 anggota DPR sekitar 13,7%.

"Kita ketahui keabsahan rapat DPR itu minimal dihadiri oleh 50% anggota dewan. Nah, memang betul bahwa sebagian anggota mengisi daftar absen itu 204, tapi batang hidungnya nggak ada, jadi hanya mengisi absen," ujar Syamsuddin Haris saat konferensi pers pernyataan sikap, di Gedung LIPI, Widya Graha lantai 11, Jakarta Selatan, Selasa (10/9/2019).

Selain itu, Syamsuddin mengatakan sudah membaca naskah usulan revisi yang diajukan oleh DPR RI tersebut. Kemudian ia menegaskan DPR bukan hanya sekadar merevisi tetapi lebih dari itu melakukan perubahan mendasar.

"Ini bukan revisi. Ini perubahan dasar. Kenapa? Sebab hampir semua pasal dirubah. Jadi, UU 30 Tahun 2002 itu yang asli dibongkar habis-habisan, sehingga kehilangan marwahnya," katanya Syamsuddin

"Contoh misalnya saya kemukakan di sini Pasal 3. KPK itu dalam usulan DPR saat ini adalah lembaga eksekutif atau lembaga pemerintah pusat. Nah, ini suatu degradasi yang luar biasa. Sebab, dalam undang-undang yang lama UU 30 Tahun 2002 saat ini, KPK itu adalah lembaga negara bukan lembaga pemerintah pusat, itu degradasinya luar biasa," sambungnya.

Penolakan atas revisi UU KPK sejauh ini telah ditandatangani 146 anggota Civitas LIPI, di antaranya termasuk 25 Professor LIPI. Beberapa nama peneliti senior ikut menandatangani, selain Syamsuddin Haris, terdapat Dewi Fortuna Anwar, serta Siti Zuhro.

Pada kesempatan yang sama, Deputi Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan (IPSK), Dewi Fortuna Anwar menanggapi persoalan revisi UU KPK. Dirinya menilai rencana revisi UU KPK akhir masa kerja DPR RI periode 2014 - 2019, menunjukkan sebuah itikad politik yang tidak baik.

Di samping itu, Dewi juga menyatakan posisi Presiden Jokowi sangat menentukan setelah revisi UU KPK resmi disahkan DPR masuk dalam Program Legislasi Nasional.

"Kalau seandainya Presiden mengirimkan Surat Presiden (Surpres) atau amanat Presiden untuk memungkinkan Rancangan Undang-Undang (RUU) ini dibahas di DPR, maka yang akan kehilangan kepercayaan dari rakyat bukan hanya anggota DPR itu sendiri, melainkan Presiden Jokowi pun akan terancam reputasinya karena telah mengalienasi kepercayaan kita," tandasnya.

Diketahui, DPR telah mengajukan inisiatifnya untuk merevisi UU KPK secara mendadak melalui rapat paripurna yang digelar (5/9/2019) lalu.

Pewarta : Irfan Fauzy/CA