(Foto: Cak Munir/Google)

Marhaen, Jakarta-  Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera (STHI Jentera) mengadakan diskusi online dalam memperingati 56 Tahun Munir, dengan mengusung tema “Napak Tilas Jejak Cak Munir dalam Perjuangan Buruh” Via Zoom. Selasa (07/12/2021).

Munir Said Thalib atau biasa dipanggil Munir merupakan seorang aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) yang lahir tanggal 8 Desember 1965 di Batu, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Ia tewas dibunuh di pesawat Garuda Indonesia pada 7 September 2004 dalam perjalanannya menuju  Amsterdam, Belanda.Semasa hidupnya beliau banyak bergerak dalam membantu kasus-kasus pelanggaran HAM. Peringatan ini dibuat untuk menolak lupa apa yang sudah dia perjuangkan dalam menegakkan HAM hingga nyawanya dihilangkan dan menuntut keadilan untuk dirinya ditegakkan.

Munir berperan memperjuangkan hak-hak buruh serta menindak pelanggaran HAM. Salah satunya pernah terlibat dalam suatu organisasi di malang raya, menjadi inisiator terbentuknya Komite Solidaritas untuk Marsinah (KASUM), sebagai bentuk advokasi pada kasus pembunuhan Marsinah. 

Subiyanto selaku organizer federasi serikat buruh kerakyatan  mengatakan bahwa Munir dengannya lebih dari kawan atau tepatnya seperti saudara sendiri. Pernah bersama di organisasi yang sama. Saking erat kedekatannya pernah suatu hari pernah dia melontarkan candaan bahwa mungkin sang aktivis akan meninggal bukan karena takdir Tuhan tapi dibunuh dengan peluru. 

“ Saya dengan cak Munir lebih dari sekedar kawan dalam bahasa jawa biasa dibilang dulur ketemu gede, dimana kita pernah berada dalam suatu organisasi buruh yang sama di malang raya dan bersama sama membentuk KASUM, dia adalah insiator dalam pembentukan KASUM tersebut,” jelasnya.

(Foto: Saat berlangsungnya diskusi online/Fadil)

Sebelum masuk kedalam isu politik, akar dari pembelaan cak Munir adalah Hak Asasi Manusia (HAM) perburuhan. Kondisi buruh erat kaitannya dengan demokrasi. Pada masa orde baru tidak ada kebebasan berserikat dan kebebasan berpendapat. Oleh karena itu Serikat-serikat yang dianggap tidak sesuai dengan pemerintah disikat,dilarang, dan dihilangkan. Dengan mendampingi masalah tersebutlah ia membela hak-hak buruh.

Dalam napak tilas perjuangan buruh oleh Munir dapat disimpulan terjadi pemberangusan yang mencengangkan terhadap serikat-serikat buruh pada jaman orde baru dan terus terulang hingga masa sekarang.

Asfinawati selaku aktivis HAM menuturkan “Kalo kita melihat atau melakukan napak tilas perjuangan buruh yang dilakukan Munir bahwa pada akhirnya perjuangan Munir untuk buruh adalah perjuangan demokrasi dan yang lebih mencengangkan serta mengkhawatirkan semua unsur yang kita temukan pada masa orde baru yang membuat buruh di represi, buruh dirampas haknya dan mengalami pemberangusan kebebasan berserikat itu juga terjadi di masa kini,” tuturnya.

Asfinawati menegaskan bahwa apa yang dilakukan Munir masih terus relevan bahkan ketika beliau sudah tidak ada bersama kita dan ketuntasan kasusnya akan menjadi indikator demokrasi Indonesia. Keadilan bagi Munir adalah keadilan bagi kita. Kemudian diskusi online ini ditutup dengan pembacaan puisi oleh Wahyu Susilo dengan judul “bukan di mulut politikus, bukan di meja SPSI” karya Wiji Thukul.


Penulis : Fadli Muhammad Fadilah

Editor : Ayu Gurning