(Foto: ilustrasi pembatasan kebebasan berekspresi/hukumonline.com)

Marhaen, Jakarta - Kabar akan disahkannya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) santer terdengar belakangan ini. Namun, draf RKUHP belum dibuka oleh pemerintah dan DPR. Problematika pasal dalam RKUHP pun menjadi perhatian publik karena dianggap sebagai bentuk kriminalisasi berlebihan terhadap masyarakat.

Dari awal pembentukan sampai mencuatnya kabar akan disahkannya, RKUHP terus menjadi polemik yang tak ada habisnya. Mulai dari, tidak ada transparansi draf RKUHP saat ini yang akan disahkan sehingga masyarakat hanya berpegang teguh pada draf tahun 2019 yang sebelumnya ditunda pengesahannya. Selain itu, beberapa pasal dalam RKUHP menuai penolakan dari masyarakat karena dinilai merugikan serta membahayakan kelompok atau komunitas tertentu dengan isinya yang dianggap sebagai pasal karet karena tidak adanya tolak ukur kejelasan dari setiap pasal-pasalnya.

Pada 25 Mei 2022 Komisi III DPR melangsungkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham), namun draf hasil rapat tersebut belum dibuka untuk publik dengan alasan bahwa rancangan tersebut masih dalam tahap penyempurnaan.

Komnas HAM mengklasifikasikan beberapa isu krusial yang tercantum dalam RKUHP 2019 yaitu, hukum yang hidup di masyarakat, pidana mati, terkait kebebasan sipil, tindak pidana kesusilaan, serta pengaturan pidana khusus. Kebebasan sipil yang dimaksud Komnas HAM ialah merujuk pada pasal 353 serta pasal 354 tentang Tindak Pidana Kekuasaan Umum dan Lembaga Negara.

Namun, pasal tersebut dinilai inkonstitusional karena bertentangan dengan UUD 1945. Dikarenakan atas pertimbangan bahwa martabat presiden dan wakil presiden berhak dihormati secara protokoler namun keduanya tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkannya memperoleh kedudukan dan perlakuan beda dimata hukum, dan pasal-pasalnya menimbulkan ketidakpuasan hukum, serta menghambat hak atas kebebasan berpendapat.

Selanjutnya, yaitu pasal 218 dan pasal 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden, adapun kritik terhadap pasal tersebut ialah definisi penyerangan yang masih belum jelas, lalu tidak disebutkan secara tegas tentang perbuatan apa yang diklasifikasikan. 

Pemerintah tidak mengklasifikasikan bentuk penyerangan seperti apa yang dimaksud dalam RKUHP tersebut. Sandrayati Moniaga selaku anggota Komnas HAM menyampaikan bahwa perlu dilakukan secara imitatif terkait pembatasan yang membedakan antara penyerangan dan bukan penyerangan.

(Foto: sedang berlangsungnya acara/Maria)

“Diadakannnya secara imitatif terkait penyerangan kehormatan/harkat dan martabat sebagai konsekuensi jabatan sebagai presiden atau wakil presiden yang (bukan penyerangan) atau penyerangan kehormatan/harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden sebagai individu manusia (penyerangan) itu harus jelas,” ujarnya pada Diskusi Publik bertajuk 'Problematika RKUHP' yang diadakan oleh BEM Jentera via Zoom Meeting, Sabtu (29/06/22).

Kemudian, Komnas HAM juga fokus pada  pembatasan demonstrasi dan unjuk rasa yang tercantum pada pasal 273 dan 274 menyatakan bahwa, setiap orang yang melakukan unjuk rasa, pawai atau demonstrasi yang menyebabkan terganggunya aktivitas umum akan dipenjara selama satu tahun. 

Jika ditinjau secara mendalam, bunyi pasal tersebut merupakan suatu bentuk pembatasan untuk menyampaikan aspirasi dari masyarakat padahal seharusnya pembatasan tersebut tidak boleh dilakukan malah seharusnya dilindungi. Sandrayati menambahkan terkait hal tersebut bahwa,

"Masyarakat yang berunjuk rasa bisa dipidana padahal seharusnya dilindungi. Kita yang berunjuk rasa bisa dipidana kalau dia mengganggu kepentingan umum, menimbulkan keonaran, huru-hara dalam masyarakat, pawai, unjuk rasa. Demonstrasi merupakan manifestasi dari hak untuk berkumpul dalam rangka mengekspresikan, mempromosikan dan atau membela kepentingan bersama, jadi setiap kegiatan berkumpul wajib untuk dilindungi," tambahnya.

Dalam pasal 5 konvenan hak sipil dijelaskan bahwa tidak adanya pembatasan atau pengurangan serta penghancuran hak-hak kebebasan yang diakui lalu kebebasan menyampaikan pendapat dimuka umum juga diatur dalam konvenan ini sehingga sudah semestinya bahwa pemerintah tidak boleh mengurangi kebebasan tersebut.

Asfinawati dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, berpendapat selaras dengan yang dikatakan oleh Sandrayati Moniaga, ketika menyampaikan pendapat kepada pemerintah itu merupakan hak menyampaikan pendapat di muka umum.

“Menyampaikan pendapat di muka umum sudah diatur dalam konvenan ini turut serta dalam pemerintahan sehingga ketika kita rewel kepada pemerintah itu termasuk hak diatur dalam konvenan sipil," jelas Asfinawati.

Pemerintah semestinya tidak buru-buru untuk mengesahkan rancangan tersebut karena banyaknya penolakan dari publik. Draf yang terkesan ditutup-tutupi itu menimbulkan kebingungan di masyarakat. Bentuk penolakan di berbagai demonstrasi, konsisten meminta pemerintah dan DPR untuk mengikutsertakan partisipatif publik serta pembuatannya harus transparan.



Penulis : Maria Goreti Ceria

Editor : Devi Oktaviana