(Foto: cover buku Tan Malaka/gramedia.com)

Judul Buku: Tan Malaka: Sebuah Biografi Lengkap

Pengarang: Masykur Arif Rahman

Penerbit: Laksana Media

Tahun Terbit: 2018

ISBN: 978-602-407-283-4

Tebal Halaman: 312 halaman

Banyak yang tidak mengetahui bahwa Tan Malaka merupakan kontributor kemerdekaan bangsa dan seorang yang memiliki pengaruh sangat besar pada masanya dan dapat disandingkan dengan beberapa pahlawan lain seperti Sukarno, Hatta, Syahrir, Ki Hajar Dewantara, Soepomo, Sutomo, dan sebagainya serta hampir terlupakan karena jejaknya terhubung dengan sebuah partai komunis di Indonesia dan selalu melarikan diri dari pengejaran selama 20 tahun.

Tan Malaka lahir pada tanggal 2 Juni 1897 di Pandam Gadang, Sumatera Barat. Dirinya hidup dalam kekeluargaan yang matrilineal (Matriarki) yaitu segala keputusan dan pemangku kedudukan paling tinggi adalah seorang ibu di keluarga pula keluarganya tidak menolak setiap kemajuan bagi keluarga (non-statis). Sebagai anak kedua, kakak sulungnya bernama Kamaruddin. Selain itu, ibunya merupakan putri dari tokoh terpandang bernama Rangkayo Sinah Simabur dan ayahnya sebagai buruh tani bernama HM Rasad Caniago. Dirinya dengan keluarga bertempat tinggal di Suliki, Sumatera Barat. 

Latar Belakang Pendidikan

Nama asli Tan Malaka adalah Ibrahim sebelum dirinya menerima gelar “Datuk Tan Malaka” pada usia 16 tahun. Dirinya mempelajari Pencak Silat dengan kakaknya dan perihal ini sudah menjadi ketetapan. Ia bersekolah di sekolah dasar kelas dua (Umum), kelas satu hanya untuk kaum Priyayi (Bangsawan), lalu dilanjutkan ke sekolah guru Kweekschool di Fort De Kock (Bukittinggi, Minangkabau). Dia sangat cerdas, guru-guru di sana bersimpati untuk melanjutkan Tan Malaka ke sekolah guru negeri di Harlem-Belanda, Rijkweekschool.

G.H. Horensma, selaku guru, menyenangi Tan Malaka dan berupaya kerja sama dengan W. Dominicus mendirikan yayasan Engkufonds (para guru). Nilai memuaskan setelah ujian, diberangkatkanlah dirinya ke Belanda dengan perbekalan yayasan uang 50 rupiah perbulan. Hadiah keberangkatan adalah sebuah buku Revolusi Perancis dari Horensma, pula pinjaman masa awal studi dicarikannya sebesar 1.500 rupiah. Pieter Hendrik Van Der Ley, selaku direktur, mencarikan kost untuknya, dibalas tak sopan olehnya dengan berpindah kost ke Jacobijnestraat. Dari temannya – Herman, surat kabar Het Volk berisi Sosialisme-Komunisme – Ibu Kost, surat kabar De Telegraaf dengan ini cakrawala politiknya meluas. 

Perjuangan Tan Malaka Terhadap Bangsa

Masa studi tahun 1916 sudah diakhiri dengan ujian lisan & tulisan namun untuk ijazah dirinya harus mengikuti ujian berbeda, ujian ini berhasil dilalui pada November 1919 yang sebelumnya telah gagal dua kali ujian lisan. Saat kembali, dia diangkat menjadi tenaga pengajar para kuli di Senembah, Deli, Sumatera Utara oleh Dr. C. W. Janssen.

Dari Semaun, Tan Malaka dibawanya ke Semarang sebagai guru di sekolah Hollandsch-Inlandsche School (HIS), dibuka oleh pemerintah di Pekalongan, Semarang. Lalu, 6 Juni ‘21, Sarekat Islam (SI) atas surat kepada Residen mendirikan sebuah sekolah di Semarang dan Tan Malaka menjadi pemimpin serta tenaga pengajar satu-satunya sebelum mengkaderisasi murid-muridnya sebagai guru. Perkembangan di kota lain, Bandung, didirikan Sekolah SI dan berkecimpung secara kegiatan sosial di sana. Kemudian, 13 Februari ‘22 Tan Malaka ditangkap.

Ditahan, diinterogasi oleh reserse mengenai kegiatan politiknya di sekolah rakyat, dipindahkan dari Bandung ke Semarang bersama Piet Bergsma dan Subidio (pimpinan PKI). Setelah masa tersebut, Tan Malaka meminta melalui Telegraf dibuang ke Belanda, bersedia menanggung biaya pemberangkatan pribadi tanpa bantuan pemerintah. Nona Sneevliet membantu biaya, tanggal 24 Maret direncanakan setelah urusan di Semarang selesai – ia diberangkatkan ke Belanda. 

Tan Malaka dikenal oleh kaum komunis di Belanda dan diundang ke pertemuan di Amsterdam oleh Dr. W. Van Ravesteyn, anggota Komunis Majelis Rendah. Meskipun tidak berhasil memenangkan pemilihan anggota Majelis Rendah, Tan Malaka terus berjuang di Belanda dan Moskow dalam Komintern ke-IV, sidang ke-VII pada 12 November 1922. Setelah kongres, ia diminta untuk menyusun buku tentang Indonesia oleh Profintern (Himpunan serikat-serikat buruh komunis) dan banyak menulis artikel di harian komunis, surat kabar Profitern dan De Tribune. Pada akhir tahun 1923, Tan Malaka pergi ke Kanton (Guangdong), Cina, di mana ia bertemu dengan Dr. Sun dan diberi sanjungan yang tinggi.

Hubungan dengan PKI dijalin melalui dokumen rahasia diserahkan ke Alimin perihal Kongres PKI pada Juni 1924. Kongres Buruh Angkatan menyimpulkan bahwa Tan Malaka akan diberikan tanggung jawab mengurus Biro dan media The Dawn. Terbitan perdana, “Naar De Republiek Indonesia” dan berobat di Kanton. Lalu beristirahat di Manila, Filipina. 

Pemberontakan PKI dicanangkan terjadi pada 1926-27, Tan Malaka menolak pemberontakan (mengirimkan Thesis namun tidak sampai ke partai) dan Moskow (Komintern) pun satu pendapat. Gugur dan gagal, Tan Malaka mendirikan Partai Rakyat Indonesia (PARI) sebagai penyuluh dari pergerakan bangsa. Dari Filipina, pindahlah ke Amoy sebagai tempat pengobatan tradisional baginya.

Tertangkap kembali oleh reserse Inggris dan Hindia Belanda, diinterogasi mengenai Bolshevisme dan berhasil dibebaskan. Kemudian berpindah ke Jawa setelah Jepang menduduki Amoy tahun ‘42. Di Jawa, dirinya bertempat tinggal di Desa Rawa Jati, Kalibata, Jakarta Selatan. Penanya menuliskan buku Materialisme, Dialektika, dan Logika (Madilog) sebagai perjuangan mencerdaskan bangsa, disusun selama delapan bulan.

Selain menulis, pekerjaan menerjemahkan bahasa di Perpustakaan dan Buruh Pertambangan di Bayah dilakukannya. Kinerja baik, Tan Malaka berhasil menjadi ketua Badan Pembantu Keluarga PETA (BPP). Dari sini, kongres pemuda di Jakarta dapat diikutinya pula bertemu dengan Chaerul Saleh, Sukarni, B.M Diah, Anwar dan Harsono Cokroaminoto.

Pada 17 Maret 1946, terjadi perundingan dengan Belanda dan penangkapan anggota Persatuan Perjuangan termasuk Tan Malaka. Pada tanggal 25 Juni 1946, Syahrir juga ditangkap di Solo dan dibebaskan tanggal 1 Juli 1946. Pada tanggal 3 Juli 1946, Muhammad Yamin dan Jenderal Sudarsono dituduh akan menjalankan rencana kudeta dan terjadi penangkapan kembali Tan Malaka diikuti pimpinan-pimpinan lain.

Akhir Perjuangan Tan Malaka, Pahlawan Terlupakan

Tan Malaka sering memberikan materi perihal sejarah Revolusi Perancis, Revolusi Rusia, dan perang kemerdekaan Amerika kepada tahanan politik di penjara. Ia menolak pemberontakan PKI dan mendukung pemerintah saat terjadi pemberontakan di Madiun pada 1948. Pada tanggal 7 November, ia mendirikan partai Murba yang ingin mempertahankan dan memperkokoh kemerdekaan Indonesia dengan ideologi sosialis.

Pada tanggal 12 November, ia memprediksi akan terjadi serangan umum Belanda II dan membantu perlawanan terhadap Imperialis Barat. Setelah terjadi penyerahan kekuasaan sementara ke PDRI, Tan Malaka terus berjuang dengan memerintahkan anggota Partai mengangkat senjata. Namun, ia akhirnya dieksekusi pada tanggal 21 Februari 1949 oleh Brigade Sikatan atas perintah Letnan Dua Sukotjo. Meskipun telah dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada 1963, namanya masih terlupakan dalam buku sejarah dan kurikulum pendidikan pada masa Orde Baru hingga sekarang.

Terakhir, buku ini menarik untuk ditelisik lebih jauh dengan memakai lensa perjuangan revolusi bangsa, tak ayal biografi ini secara singkat memberikan pengetahuan baru bagi sebagian besar orang yang baru membacanya. Pula, pada kelebihan buku ini adalah melengkapi kekurangannya data sejarah kenapa bisa terjadi kenaikan periode pada kepemimpinan Syahrir menjadi Perdana Menteri ataupun bagaimana kisah lengkapnya mengarungi berbagai negara sebagai orang buangan.

Buku memiliki kekurangan seperti tidak adanya pemberian penjelasan mengenai apa isi dari buku Also Sprach Zarathustra karya Nietzsche yang ia kagumi karena kerumitan bahasa dan secara puitis dalam penulisannya. Pula, ada kalimat yang Tan Malaka sukai dari buku tersebut yaitu “Die Umwertung aller Werten,” (pembatalan nilainya suatu nilai) atau usaha transvaluasi nilai. Kalimat dan buku di atas tidak dijelaskan maupun dijabarkan dengan benar pada halaman 44 ataupun buku lainnya terkait karya Nietzsche. 



Penulis : Muhammad Rizki

Editor : Devi Oktaviana