(Foto: kesedihan korban tragedi Kanjuruhan/bbc.com)

Marhaen, Jakarta - Buntut proses penyelidikan yang panjang, pengadilan memutuskan memberikan vonis bebas kepada terdakwa pejabat kepolisian tragedi Kanjuruhan dan menjatuhkan hukuman pidana penjara 1,5 tahun kepada Ketua Panitia Pelaksana (Panpel) Arema Football Club (FC), Abdul Haris di Pengadilan Negeri Surabaya.

Tragedi Kanjuruhan telah menyebabkan 135 korban meninggal dunia, 559 luka ringan, dan 26 luka berat terjadi telah memasuki babak akhir,  yaitu dengan vonis bebas dua terdakwa mantan Kabag Ops Polres Malang Kompol Setyo Pranoto dan mantan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi.

Hakim Pengadilan Negeri Surabaya menyatakan bahwa penembakan gas air mata yang dilakukan oleh anggota Samapta dalam Komando terdakwa Bambang terdorong angin sampai ke arah selatan menuju tengah lapangan pula menghampiri pinggir lapangan, tidak menyentuh ke tribun selatan. Atas fakta tersebut, Hakim menimbang dan memperhatikan fakta untuk menjatuhkan vonis tindak pidana kepada Ketua Panpel Arema FC, Kamis (16/03/2023).

Menurut Tioria Pretty, Wakil Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang Dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Bidang Advokasi dalam diskusi Mengadili Angin Kanjuruhan pada Minggu, (26/04), bahwa terdapat kejanggalan yang terjadi dalam proses persidangan tragedi Kanjuruhan diantaranya diterimanya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) sebagai penasehat hukum dalam persidangan, komposisi saksi didominasi oleh aparat kepolisian, serta peristiwa kekerasan dan penderitaan yang dialami suporter, baik di dalam maupun di luar stadion tidak diungkap secara menyeluruh. 

Akmal Marhali, selaku anggota Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF), menyampaikan bahwa sudah memberikan rekomendasi untuk menindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan terhadap pejabat POLRI yang menandatangani surat rekomendasi izin keramaian, dan Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap pihak yang melakukan tindakan berlebihan pada kerusuhan pasca pertandingan Arema versus Persebaya seperti menembakan gas air mata yang dilakukan di luar komando serta POLRI perlu menyelidiki suporter yang melakukan provokasi dengan masuk ke lapangan dan melakukan kerusakan di dalam stadion.

Adapun, pengusutan kasus tersebut perlu diusut tuntas atas kronologi melalui Closed Circuit Television (CCTV) di tempat terjadinya tragedi pula untuk menemukan titik terang maupun keadilan korban terhadap rekomendasi penindaklanjutan kasus penyelidikan dan menghindari terjadinya aksi massa (gerakan sipil) menuntut keadilan hingga mengingatkan kepada KAPOLRI agar tidak menganggap sepele tragedi tersebut.

“Kalo kemudian mau diusut tuntas  lagi misalnya, itu ada satu hal yang sampai sekarang dari tim TGIPF minta untuk diserahkan tapi tidak diserahkan adalah video CCTV yang hilang satu jam dua puluh menit di luar stadion, sampai sekarang tidak diserahkan saya pikir artinya jangan ada sesuatu dengan dipotongnya CCTV tersebut sehingga kemudian dihilangkan, nah ini kan berbahaya kalau  kemudian ada fakta hukum yang disembunyikan dan sekali lagi kalau kemudian ini tidak diselesaikan, bukan memprovokasi tapi faktanya mungkin akan ada gerakan sipil untuk meminta keadilan di gerakan dan jangan sampai kemudian pak KAPOLRI dalam hal ini juga menganggap masalah sepele kanjuruhan karena bukan mustahil menjadi adanya konflik antara aparat keamanan dengan masyarakat secara umum sehingga tidak percaya dengan aparat,” tutur Akmal.

Komnas HAM dalam laporan pemantauan dan penyelidikannya mengatakan bahwa penembakan gas air mata menjadi penyebab utama dari banyaknya korban, banyak pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah dilanggar seperti hak memperoleh keadilan, hak untuk hidup, hak atas rasa aman dan lainnya.

“Dari hasil pemantauan dan penyelidikannya Komnas HAM, tragedi kanjuruhan ini merupakan peristiwa pelanggaran HAM akibat kelalaian tata kelola sepak bola yang diselenggarakan dengan cara tidak menjalankan, menghormati dan memastikan prinsip keamanan dalam penyelenggaraan sepak bola terutama HAM dari semua pihak yang ada di sana,” ujar Anis Hidayah selaku Koordinator Subkomisi Pemajuan HAM Komnas HAM, Minggu (26/03/2023)

Komnas HAM menyayangkan keputusan majelis hakim terhadap tiga orang terdakwa dari pihak kepolisian yang hanya divonis pidana satu tahun enam bulan dan dua lainnya divonis bebas yang dikiran sangat tidak memberikan rasa keadilan kepada korban dan keluarga yang ditinggalkannya, sehingga menimbulkan kekecewaan yang sangat dalam kepada pihak berwenang yang seharusnya memberikan keadilan. 

Menurut Devi Atok, salah satu keluarga korban dan saksi dalam pengadilan tragedi Kanjuruhan, hasil putusan sangat tidak memenuhi (sesuai) dengan keinginan dari keluarga korban karena pengadilan menyalahkan angin walaupun telah banyak sekali korban yang berjatuhan dan beranggapan bahwa pihak kepolisian seperti malaikat pencabut nyawa, Izrail yang dapat mencabut nyawa seseorang kapan saja. 

“Kayaknya kepolisian ini kaya dewa, kaya malaikat Izrail pencabut nyawa dan tidak akan dihukum, dengan dilepasnya kedua polisi itu dan komandannya cuman satu tahun dan tidak dipecat itukan sebagai contoh bahwa kepolisian ini kaya malaikat pencabut nyawa seenaknya ndewe membunuh orang tidak di hukum. Tapi kalau pihak sipil yang melakukan kejahatan, coba satu aja kepolisian meninggal satu Indonesia ini polisi mencari pelakunya itu, tapi kenapa, ini 135 lebih dibebaskan, sangat menyakiti keluarga korban luka dan korban meninggal,” ujarnya.

 


Penulis : Salsabila Ananda Nurhaliza

Editor : Muhammad Rizki