(Foto: cover buku Pulang/anggiputri.com)


Judul buku: Pulang 

Pengarang: Leila S. Chudori 


Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia 


Tahun Terbit: 2012


ISBN:978-602-424-275-6


Tebal Halaman: 458 halaman 


Buku ini menceritakan tentang kisah empat eksil politik Indonesia yang tak dapat kembali lagi ke tanah airnya sendiri setelah peristiwa 30 September 1965 terjadi. Mereka berpindah-pindah negara untuk bersembunyi dan akhirnya memilih untuk menetap di Paris dan membuat Restoran Tanah air.


Dimas Suryo, Nugroho Dewantoro, Risjaf, dan Tjajadi Sukarna, mereka adalah empat eksil politik Indonesia yang membangun Restoran Tanah Air di Paris. Keempat orang itu selain Tjai adalah wartawan pada Kantor Berita Nusantara sebelum 30 September 1965. Mendekati peristiwa tersebut, Dimas Suryo dan Nugroho mendatangi Konferensi International Organization of Journalists di Santiago, Chile. Lalu, Risjaf menghadiri acara lain di Havana, Kuba dan Tjai meninggalkan Indonesia menuju Singapura setelah beberapa hari itu terjadi.


Diantara keempat orang tersebut ada juga seorang bernama Hananto Prawiro yang dikenal dengan jurnalis yang sangat kiri ia merupakan pimpinan Kantor Berita Nusantara namun saat peristiwa 30 September 1965 kantor tersebut ditutup oleh tentara. Hananto bekerja di Tjahaja Foto hal tersebut menjadi sumber mata pencaharian tertinggi karena banyak orang yang butuh pas foto dan membuat surat keterangan tidak terlibat Gerakan 30 September. Padahal, Hananto dan kawan-kawannya sendiri juga termasuk dalam orang yang dicari-cari oleh negara terkait peristiwa September 65 terjadi. Bahkan, kencang sekali terdengar desas-desus bahwa Hananto telah tertangkap.


Hananto ditangkap pada tanggal 6 April 1968 di tempat kerjanya, ia dijemput oleh empat tentara yang mengaku saudara sepupunya sendiri. Saat tertangkap Hananto meninggalkan istri dan ketiga anaknya, meski  begitu ketika mobil dinyalakan bayangan wajah Dimas Suryo lah yang justru terus menerus mengikuti perjalanannya.


Setelah Hananto tertangkap, Dimas Suryo dan kawan-kawannya merasa khawatir karena keadaan yang sudah dipastikan makin tak karuan dan juga mereka termasuk buronan negara seperti Hananto. Padahal Dimas tidak berhaluan kiri bisa dibilang ia cenderung netral tetapi karena Dimas tetap berteman dekat dengan orang-orang yang berhaluan kiri sehingga ia tetap menjadi incaran negara.


Mereka berkelana ke negara-negara dan akhirnya memutuskan untuk bersama-sama menetap di Perancis dan mendapatkan status warga negara tetap. Dimas Suryo dan kawan-kawannya melakukan berbagai pekerjaan untuk bertahan hidup di sana dari menulis artikel sampai mereka berempat mendirikan Restoran Tanah Air yang disebabkan Dimas gemar menulis dan juga ia memiliki keahlian dalam soal bumbu dan masakan. Restoran tersebut menjual makanan-makanan khas Indonesia dan pada tempat tersebut sering sekali membicarakan situasi yang sedang memanas di tanah airnya sendiri. 


Dimas Suryo dan yang lainnya selalu mencoba untuk dapat kembali lagi ke tanah airnya sendiri tapi hal itu tak kunjung terlaksana karena paspor mereka dicabut dan mereka termasuk orang yang dicari-cari di tanah airnya sendiri karena rezim orde baru yang melakukan gerakan sapu bersih setelah peristiwa 30 September 1965 terjadi. 


Setelah orde baru jatuh, tepatnya pada tanggal 10 Juni 1998 akhirnya Dimas Suryo dapat pulang, tetapi ia pulang dalam keranda dan ditempatkan sesuai keinginannya yaitu pemakaman Karet karena Dimas tak mau dimakamkan pada pemakaman mewah Père Lachaise di Paris karena menurutnya tanah karet adalah rumah yang akan mudah menyatu dengan tubuhnya.


Kelebihan pada buku ini mempunyai deskripsi sejarah politik yang bagus dan terasa ditulis tanpa pretensi sosial maupun personal, kisah dalam novel ini menjadi sangat dekat dan seperti dari bagian kehidupan kita dan juga sebagai pembaca kita terasa seperti berada pada situasi yang tergambarkan di novel.


Buku ini juga memiliki kekurangan seperti terlalu mengedepankan persoalan asmara didalamnya dibandingkan dengan bahasan mengenai nilai politik yang terkandung pada novel tersebut kurang kuat.


Namun, dibalik kekurangan yang ada pada buku ini saya ingin merekomendasikan untuk pembaca di luar sana terutama yang tertarik akan sejarah kelam terutama yang berlatar belakang tahun 65. Membaca novel ini untuk selalu mengingatkan kita akan hal yang terjadi pada zaman orde baru, dimana media tak bisa bebas untuk menulis dan menerbitkan dalam hal yang berseberangan dengan pemerintah pada zaman itu.





    
Penulis: Bintang Prakasa

Editor: Na'ilah Panrita Hartono