(foto: sedang berlangsungnya acara/Salsabila)

Marhaen, Jakarta - Penetapan tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi oleh Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas) menuai sorotan. Koalisi Masyarakat Sipil menggelar diskusi publik untuk membahas dan menanggapi hal tersebut. Minggu (30/07/2023).

Dilansir dari bbc.com, kepala Basarnas Marsekal Madya Henri Alfiandi dan Koordinator Administrasi Kepala Basarnas Letkol Afri Budi Cahyanto diduga menerima suap dari pihak swasta sebesar Rp 89,9 Miliar untuk memenangkan sebuah perusahaan dalam suatu proyek tahun 2021-2023. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan kedua personil TNI tersebut sebagai tersangka pada Jumat (28/07/2023) lalu.

Johanis Tanak, salah satu wakil ketua KPK mengatakan penetapan tersangka itu adalah “kekeliruan dan kekhilafan” dari tim penyidik KPK. Tentara Nasional Indonesia (TNI) menyebut KPK telah melebihi kewenangannya karena hanya peradilan militer yang boleh menetapkan status tersangka kepada personel TNI aktif. Peristiwa ini berujung dengan permintaan maaf dan pengunduran diri Direktur Penyidikan KPK, Brigjen Asep Guntur.

Muhammad Isnur dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menyoroti 4 hal yang terjadi yaitu pertama adanya tindakan akrobatik hukum dan pembelokan disinformasi dari undang-undang hukum yang ada, kedua adanya kekacauan koordinasi internal KPK dengan pimpinan yang lain saling menyembunyikan dan menyalahkan, atau hilangnya peran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan presiden dalam menjaga pandangan korupsi bahkan cenderung mendukung kelemahan korupsi, dan terakhir macet dan berhentinya bahkan munculnya reformasi peradilan militer. 

“Masalahnya adalah informasinya disesatkan, seolah penegak hukum yang menangani KPK dianggap salah dan itu dijustifikasi bahwa penyidik yang khilaf, jelas bahwa penyelidik ketika bekerja berdasarkan perintah, tidak mungkin menetapkan tersangka sendiri” ujar Agus, anggota Indonesia Corruption Watch (ICW).

Ini membuktikan bahwa tindak pidana korupsi tidak memandang latar belakang, persoalan ini menambah ajang bagi institusi yang menanganinya dengan evaluasi kembali apakah jabatan di ranah sipil memang perlu diisi oleh militer. 

“Basarnas ini satu badan yang terpenting untuk mengurangi korban atau kerugian daripada bencana yang timbul, maksud saya bahwa disitu diisi dari TNI. Sebetulnya bukan masalah diisi oleh TNI atau sipil tapi bahwa dia profesional disitu, yang kedua kalau ditempatkannya itu sesuai dengan kebutuhan harus diuji dan dikaji dulu di semua sektor” kata Muhammad Islah dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).

Tindakan korupsi adalah ancaman negara, apalagi itu dilakukan oleh seorang militer aktif, jika TNI yang melakukannya itu bukan hanya merampok uang negara tapi juga sekaligus melakukan tindak pidana yang mengancam ketahanan negara. 

Anggota militer yang diduga melakukan tindak pidana korupsi seharusnya diungkap ke publik bukannya dilindungi dengan tameng prosedur penyelidikan. Sangat disayangkan peristiwa ini memunculkan semacam sentimen seolah mengatakan bahwa anggota militer berbeda dari yang lain. 

“KPK bisa diintimidasi dengan mudah, hal ini memberikan sinyal yang cukup jelas bagi rakyat Indonesia ancaman karena ketidakpatuhan hukum TNI. Kalau kita bicara wilayah kekuasaan hukum penanganan tindak pidana korupsi, jelas sekali wilayahnya peradilan umum, tidak ada kompetensi peradilan militer untuk memeriksa dan menyelidiki tindak pidana korupsi” ujar Fery Kusuma dari Forum De Facto.

Salah satu bentuk reformasi adalah perubahan secara drastis memicu perbaikan dalam berbagai bidang, setelah kemerdekaan 1945 banyak sekali perubahan undang-undang. TNI sendiri juga sebenarnya sudah melakukan reformasi. 

Namun, masih ada ketidakmauan untuk mengakui atau menerima terhadap perubahan hukum yang terjadi. Selama negara ini enggan berkomitmen melakukan reformasi di peradilan militernya, maka semua pejabat dari TNI di ranah sipil sengaja diberikan ruang atau memang bermain dengan politik agar kekuasaannya tidak diganggu.

“Ini momentum untuk menampar anggota DPR segera revisi undang-undang no 31 tahun 1997,  reformasi peradilan militer segera diperbaiki dan direvisi, kok gak mau dirubah, kita ini negara hukum, tidak ada yang boleh diistimewakan di negara hukum, mau presiden, menteri, siapapun dia gak boleh ada yang diistimewakan, saya meminta kepada KPK jangan takut, Dewan Pengawas periksa semua pimpinan yang sekiranya bermasalah, permintaan maaf itu sepantasnya dilakukan waktu Idul Fitri bukan saat menegakan hukum” ucap salah satu anggota Centra Initiative Al Araf.

Peristiwa ini menambahkan gambaran apa yang menjadi gimik para pejabat soal reformasi TNI dan Indonesia yang sudah 57 tahun tidak merubah undang-undang no 31 tahun 1997. Menjadi banyak pertanyaan yang sudah diketahui jawabannya, dimana hal itu menjadi sarang imunitas TNI dan militer untuk melakukan tindak kejahatan yang kemudian tidak bisa diadili secara transparan dan akuntabel. 




Penulis : Salsabila Ananda Nurhaliza

Editor : Bintang Prakasa