(Foto: ilustrasi orang-orang penghilangan paksa/Na'ilah)

Bulan sembilan menghitam bukan karena malam, bukan pula karena secarik tinta yang tumpah berceceran. Namun, karena kumpulan tangisan dan decit peluru yang berterbangan.

Di suatu perhelatan tentang siapa, bagaimana, dan kapan. Kepulangan tak menjadi kenangan penuh kesenangan, melainkan menjadi suatu penderitaan tak terbayangkan.

Kala itu, hidup bukan perihal siapa yang nyawanya bertahan. Namun, persoalan dia yang menang untuk melawan beringasnya kekuasaan ugal ugalan.

Arak-arakan menuju gedung perwakilan, menjadi momok menakutkan bagi mereka yang duduk mengangkang di atas kota yang riuh berantakan.

Mereka tahu, takdir tak bisa diingkari, tapi kita adalah tuan dalam kehidupan. Jika, sembarangan makan hanya ada satu kata. Lawan!

Dalam bulan yang panjang, berbisik lah ribuan orang kepada Tuhan. Semoga tahun itu memang seperti apa yang mereka dambakan sebagaimana mestinya. 

Di pertengahan bulan itu, Tuhan kabulkan hingga menjadi suatu akhir dari  dari tembok tembok saksi perjuangan dalam kesunyian.

Akan tetapi, dalam perayaan kemenangan, kita lupa ada yang bertahun berlanjut tak ditemukan. Seakan menguap menjadi awan. 

Siapa yang tahu, mereka disekap, dibirulebamkan, hingga menjadi suatu pembunuhan tak terelakan?

Siapa yang tahu, di akhir kata mereka meminta sedikit pengampunan?

Siapa yang tahu, saat matanya yang menyala mulai terbenam, berharap semua merawat ingatan?

Maka, dalam rentang waktu yang tak terikat dengan erat. Kebohongan dan kemunafikan pencitraan para keparat, pada akhirnya terkuak menjadi suatu tabir jawaban yang telah disemogakan untuk dikabulkan di akhir doa kepada Tuhan.





Penulis : Na'ilah Panrita Hartono