(Foto: ilustrasi menyoroti kesedihan/Na'ilah)

Kesadaran tentang kesehatan mental sedang menjadi fokus utama saat ini karena pentingnya pertumbuhan dan perkembangan kesadaran ini dalam masyarakat. Ini juga bertujuan untuk mengurangi stigma yang ada sekaligus memberikan dukungan yang pantas bagi individu yang mengalami gangguan mental.

Menurut data lifespan.org, kesadaran akan kesehatan mental telah ada sejak 1949, tetapi pengakuan serta penerapannya baru relevan beberapa tahun belakangan. Bahkan, kini terdapat bulan yang memperingati tentang hal tersebut yaitu sepanjang bulan Mei. Tentunya di bulan tersebut bertujuan untuk terus mendorong kesadaran betapa pentingnya pengetahuan tentang kesehatan mental bagi khalayak umum, sebab banyaknya orang yang kurang tahu serta terdampak tanpa mendapatkan sebuah pertolongan yang seharusnya.

Perkembangan tentang kesadaran mental, ini juga dapat kita amati dari banyaknya inisiatif yang mendukungnya di berbagai kalangan, mulai dari talkshow hingga program pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan kesehatan mental. Bahkan, acara televisi yang kini mulai mengangkat isu membantu dalam menyadarkan kita akan keberadaan persoalan tersebut memang nyata adanya.

Sayangnya hal ini tak luput dari masalah, yaitu pesatnya perkembangan internet dan kerap orang hanya bersumber dari beberapa bacaan yang entah valid atau tidak. Mereka mulai melabeli diri mereka sendiri dengan beberapa diagnosis yang tak berdasar. 

Seharusnya penegakan diagnosis hanya bisa dilakukan oleh orang yang berkompeten, seperti psikolog dan psikiater sebab penegakan diagnosis sangatlah penting untuk mengetahui treatment apa yang tepat bagi mereka. Kesalahan yang dilakukan dari penanganan yang tidak tepat, bisa berujung pada kegelisahan sosial yang dapat timbul dan semakin buruk dari serampangan nya informasi yang beredar.

Persoalan ini nyatanya juga bentuk dari bagaimana tes-tes psikologi tak berdasar yang dilakukan berbagai media yang sebetulnya bukan ingin orang-orang menjadi waspada melainkan iseng-iseng belaka mencari perhatian yang berujung pada pembodohan massal sehingga banyak orang yang akan mulai percaya dirinya benar-benar sakit.

Mengapa demikian, jika kita telisik lebih jauh banyaknya konten di media mendapatkan perhatian lebih jika ada seseorang mengalami suatu gangguan kejiwaan. Hal ini terjadi sebab konten yang dikemas sebegitu menariknya mengisyaratkan bahwa terdapat suatu keestetikaan. Ironisnya mereka hanyalah mendorong glorifikasi secara berlebihan.

Konten yang tersebar sebenarnya sangat beragam selain foto atau infografik "estetik" sebagian orang mulai mengedepankan humor-humor yang nantinya dikemas menjadi meme menyinggung permasalahan mental lalu mereka labeli hal itu dengan "dark jokes".  Bercandaan ini jelas juga menandakan sebagaimana dimuat dalam jurnal Indian Psychology yaitu, "Exploring Trivialisation of Mental Health Issues using Internet Memes in Young Adults" hal ini terlihat seperti menormalisasi perilaku memperkecil permasalahan serius demi humor yang berhubungan dengan desensitisasi (proses di mana reaksi emosional terhadap rangsangan berkurang setelah paparan yang lama) terkait media.

Dalam jurnal tersebut juga menjelaskan bagaimana gangguan jiwa dianggap sebagai sesuatu yang memang berhubungan dengan dirinya dan normal. Hal ini, berakibat buruk pada mereka yang memang benar mengalami gangguan. Nantinya, akan menganggap apa yang dialaminya adalah normal dan umum.

Bukan hanya meme, tetapi bagaimana lagu-lagu pop sendu yang menggambarkan bahwa kesedihan adalah suatu hal yang menarik untuk dialami. Contohnya, lagu Nadin Amizah yang berjudul perempuan gila. Kata "gila" merupakan kata yang disematkan untuk Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) di lagu tersebut tidak lain adalah tentang seorang perempuan yang takut akan ditinggalkan karena mungkin pernah mengalami kejadian yang membuat dirinya takut, tetapi hal ini dilebih-lebihkan seakan bukan hal normal dan akan menimbulkan stereotip jika seorang dengan masalah mental tidak bisa merasakan cinta selayaknya orang-orang pada umumnya.

Hal ini juga berhubungan dengan bagaimana kebanyakan orang telah mereduksi kata-kata diagnosis kejiwaan menjadi suatu hal biasa. Penggunaan kata di dunia secara nyata bisa menjadi penyebab pendorong permasalahan ini, seperti "Aku sedang depresi" "Mood ku berganti terus tau, bipolar deh kayanya" "Aku selalu mau jadi sorotan kayanya aku narsistik" sedemikian mudahnya mengucap dan menempatkan kata-kata tersebut ketika mengalami suatu perasaan yang sebenarnya lumrah untuk kita rasakan sebagai seorang manusia.

Dampak buruk yang dihasilkan tentunya tak sedikit, entah bagi si pelabel diri sendiri ataupun orang-orang yang memang mengalami gangguan tersebut. Mulai dari celaan, tidak mendapatkan validasi hingga berujung pada stigma yang tadinya ingin dipatahkan malah menjadi akar yang kian kokoh. Contohnya, orang dengan gangguan mental sering kali dianggap berbahaya atau merugikan orang di sekitar. Mengapa hal ini terjadi karena orang-orang dengan pemahaman keliru menggunakan gangguan mental sebagai suatu pembenaran bagi tindakan yang dia lakukan.

Padahal nyatanya tidak demikian, suatu asosiasi yang bergerak dalam bidang kesehatan mental di Amerika Serikat bernama Substance Abuse and Mental Health Service Administration (SAMHSA) merilis sebuah data yang menyatakan hanya 3-5% orang dengan gangguan mental serius melakukan sebuah tindak kejahatan. Malah, orang dengan Gangguan Kejiwaan sepuluh kali lebih memungkinkan untuk menjadi korban kejahatan daripada banyaknya populasi yang ada. Bukankah hal itu sangat bertolak belakang dengan kenyataan yang ada dan perlakuan orang-orang yang menjadikan gangguan itu sebagai hanya alasan belaka saja dan memperparah stigma.

Memang perlunya rasa mawas diri dan pengingat untuk orang orang tentang masalah kejiwaan. Namun, dengan konten yang telah diproduksi secara berlebih tanpa adanya pengawasan untuk nantinya akan dikonsumsi oleh publik buruknya adalah menjadi senjata berbalik arah yang berbahaya. Bukan hanya itu, mengglorifikasi bukanlah tujuan awal banyaknya konten berbau mental awareness. Maka perlunya kembali berpikir. Benarkah apa yang kita ingin suarakan ataupun perjuangkan, benar-benar untuk kemaslahatan orang banyak? Atau pada akhirnya kita hanyalah lintah penghisap atensi semata.





Penulis : Na'ilah Panrita Hartono

Editor : Bintang Prakasa