(Foto: ilustrasi anti kekerasan/ detik.com)

Marhaen, Jakarta - Perempuan Mahardika mengadakan konferensi pers bersama gerakan perempuan dan organisasi masyarakat sipil dengan tema “Akhiri perang, Stop Kekerasan terhadap Perempuan Hentikan Kriminalisasi Aktivis Pembela HAM” melalui Zoom Meeting. Minggu (25/11/2023).

25 November diperingati sebagai hari ant kekerasan terhadap perempuan sebagai penghormatan kepada saudara perempuan Mirabal, tiga aktivis politik dari Dominika yang terbunuh pada tahun 1960 atas perintah Rafael Trujillo. Perempuan sering kali dianggap sebelah mata, perampasan kedaulatan juga sering terjadi secara brutal sehingga menyebabkan perempuan selalu menjadi target kekerasan baik di rumah, di tempat kerja, maupun di negaranya.

Ketidakadilan berbasis gender sampai hari ini juga masih menjadi situasi yang mengancam perempuan, Citra Referandum dari Lembaga Bantuan Hukum Jakarta mengungkapkan telah menangani banyak laporan kasus kekerasan seksual dengan berbagai macam bentuk dan jenis baik itu fisik maupun non fisik.

“Di dalam 102 kasus ini kita lihat gender dari korban mayoritas paling banyak adalah anak perempuan sebanyak 94 orang, ini membuktikan kekerasan seksual memang paling banyak dalam kasus ini dewasa sebanyak 77 kasus sementara adalah 5 sampai 12 tahun dengan latar belakang beragam, sementara usia pelaku didominasi oleh usia dewasa” ujarnya.

Menurut Echa Waode dari Arus Pelangi, hilangnya hak pemenuhan, hak penikmatan HAM itu menjadi suatu pelanggaran HAM, tetapi  negara abai sehingga setiap tahunnya angka kekerasan terhadap perempuan meningkat dan mendapat diskriminasi serta kebencian dari masyarakat. 

“Negara abai menerima ataupun merespon tindakan-tindakan kekerasan yang dialami oleh kawan-kawan perempuan dan  perempuan kehilangan hak penikmatan untuk ruang kerja yang aman dan nyaman bahkan tempat tinggal yang nyaman pun tidak dimiliki, jika negara menjadi musuh untuk rakyatnya mereka memperkaya diri sendiri tanpa memikirkan hak dan kesejahteraan rakyatnya, bagaimana perjuangan para guru perempuan dan pekerja rumah tangga yang masih terus berdiri di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) belum diperjuangkan hak nya” ucapnya

Dalam gagasannya, Dian Septi dari Marsinah.id menyebut bahwa banyak perempuan rentan mengalami kekerasan, dalam konteks kekerasan ekonomi, upah minimum dan bentuk kekerasan lainnya seperti di caci maki di tempat kerja itu semakin menghancurkan perempuan sebagai manusia. 

“Saya ingin menyorot kekerasan ekonomi dalam hal penetapan upah minimum provinsi yang baru saja ditetapkan oleh pemerintah menggunakan Peraturan Pemerintah 51 tahun 2023 dan juga undang-undang cipta kerja, merupakan bentuk kekerasan ekonomi yang memiskinkan kaum perempuan dan tidak mengakui kerja-kerja reproduksi sosial yang dilakukan oleh perempuan pekerja. Kesenjangan antara angka yang menentukan upah buruh tentunya membebani kaum perempuan sementara kebutuhan tidak pernah dilihat sebagai penentu utama kebijakan upah" ungkapnya. 

Sampai saat ini kesejahteraan perempuan masih terus diperjuangkan. Khanza Vina perwakilan Sanggar SWARA mengatakan Isu-isu kekerasan yang dihadapi oleh perempuan dengan berbagai latar belakang karena gagalnya pemerintah dalam menjamin upaya perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (HAM)  perempuan, tidak adanya payung hukum yang spesifik melindungi perempuan adalah produk-produk kebijakan berpotensi mengkriminalisasi orang-orang.


Penulis: Salsabila Ananda Nurhaliza

Editor: Na'ilah Panrita Hartono