(Foto: cover buku Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut/Azhwa)

Judul: Perempuan yang Menunggu di Lorong Menuju Laut 

Penulis: Dian Purnomo 

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama 

Tahun Terbit: 24 Oktober 2023

Jumlah Halaman: 288 halaman

ISBN: 9786020673004

Buku ini dimulai dengan kalimat, ”Negara yang merusak tanahnya, tanpa sadar sedang menghancurkan dirinya sendiri, melukai rakyatnya, mengakhiri kehidupan negerinya”. Seperti yang terjadi pada Pulau Sangihe, pulau kecil nan indah di Utara Indonesia atau tepatnya terletak pada Provinsi Sulawesi Utara. Pulau tersebut diambil kekayaan alamnya oleh perusahaan-perusahaan yang menjanjikan kedamaian. 

Mereka tidak hanya kehilangan tempat tinggal melainkan mereka juga kehilangan harta berharga mereka, yaitu tanah yang harusnya bisa mereka wariskan kepada anak cucu mereka harus dirampas oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Namun, masyarakat setempat tetap memperjuangkan untuk dapat mempertahankan tanahnya. Seperti yang dilakukan oleh salah seorang perempuan bernama Shalom Mawira.

Shalom menolak untuk diam dan memilih berjuang bersama warga Sangihe untuk menyelamatkan tanahnya. Ia merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dan kehilangan ayahnya yang tak kembali dari melaut. Shalom mempertahankan pulau ini karena sang ayah, ia tidak ingin jika ayahnya kembali suatu saat, ayahnya bingung karena semuanya sudah berubah.

Semuanya dimulai saat sebuah perusahaan penambang emas masuk ke pulau ini untuk merampok kekayaan alamnya. Sebut saja Perusahaan Biongo, masyarakat menyebut perusahaan sebagai Biongo (bodoh/bebal) saking keras kepalanya mereka melanggar peraturan, seperti pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Selain itu, mereka juga memalsukan bukti sosialisasi warga Sangihe. Perusahaan Biongo ini menawarkan kepada warga untuk menjual tanahnya seharga Rp10.000 per meter. Tidak sedikit yang akhirnya mau untuk menjual tanahnya, tetapi tidak sedikit pula warga Sangihe yang memilih untuk tidak menyerah dan mempertahankan tanahnya.

Pada hari Minggu setelah pulang gereja, Pak Robin dan istrinya berpapasan dengan dua buah tronton bermuatan alat berat, salah satunya mengarah ke selatan. Dengan segera Pak Robin memberi kabar di grup WhatsApp yang telah warga buat. Ibu Agatha langsung meminta warga berkumpul di rumah perjuangan yang menjadi rumah untuk semua orang dan fungsinya seperti benteng, karena letaknya di perbatasan antara Bowone dan Salurang.

Semua orang dengan sigap mengatur siasat, para laki-laki mempersiapkan senjata mereka, perempuan-perempuan tidak mau kalah menyiapkan kerikil dan batu yang lebih besar untuk melempari kendaraan kelas berat itu. Berbagai cara Perusahaan Biongo melakukan negosiasi kepada warga, tetapi semua upaya gagal. 

Warga menolak masuknya tronton bermuatan alat berat itu dengan tiduran menyerupai zebra cross hidup di tengah jalan. Mereka berjajar di aspal menyerupai lebarnya jalan. Para warga melakukan itu selama tiga hari, mereka betul-betul tidak berpindah sedikitpun. Sampai pada ketika tronton berbalik arah setelah tiga hari, para warga tetap bertahan hingga enam jam kemudian. Barulah mereka mendapat kabar bahwa tronton tersebut telah sampai di Pelabuhan Pananaru.

Sekecil apapun bentuk usaha warga Sangihe dalam mempertahankan tanahnya, itu tetap bentuk dari perjuangan. Seperti saat ini, warga diminta menandatangani kain sepanjang 14 meter yang menyatakan penolakan masyarakat Sangihe terhadap tambang. Walau pada akhirnya, perusahaan tidak menggubris sama sekali.

Segala bentuk perjuangan sudah dilakukan oleh warga Sangihe. Mulai dari jalur hukum sampai demo yang dibuat sedamai mungkin menyebabkan ketiga pejuang, yaitu Shalom, Eben, dan Berto dibuatkan surat penangkapan atas tuduhan upaya makar. Warga Sangihe tidak kenal lelah, berbagai cara tetap mereka lakukan untuk mempertahankan pulau tercintanya.

Kita mungkin tidak pernah merasakan bagaimana memiliki tanah yang akan digusur. Atau mungkin, kita akan merelakan begitu saja, karena kita bisa dengan mudah mencari pendapatan di tempat lain. Sedangkan saudara-saudara kita yang tinggal di pulau-pulau kecil lainnya. Rumah, tanah, air, laut, semua lebih dari sekedar warisan. Itu juga menjadi sumber penghasilan dari kebanyakan masyarakat di sana. 

Buku ini membuat kita sadar akan pentingnya menjaga tanah kita dan penulis juga menambahkan foto-foto asli yang diambil di pulau Sangihe, membuat pembaca memiliki gambaran yang terjadi di sana. Namun, ada beberapa bahasa daerah yang mungkin tidak dimengerti, tetapi penulis memberikan kertas berisikan terjemahan ke bahasa Indonesia. Terlepas dari lebih dan kurangnya, buku ini direkomendasikan karena berhasil merangkai keindahan alam dengan perjuangan melawan ketidakadilan. 




Penulis: Azhwa Nur Malasari

Editor: Bintang Prakasa