(Foto: ilustrasi gizi buruk pada anak/Rizki)

Sejak masa kolonialisme persoalan stunting di Indonesia sudah menjadi catatan hitam bagi pemerintah hingga saat ini. Sumber Daya Manusia (SDM) berkualitas hanyalah angan-angan karena hingga saat ini belum memenuhi standar bebas stunting disebabkan efek domino yang mempengaruhi secara panjang masa pertumbuhan anak. 

Dikutip dari siloamhospitals.com, Stunting sendiri merupakan kondisi malnutrisi atau gangguan pertumbuhan pada anak di bawah umur lima tahun yang diakibatkan oleh gizi buruk semasa ibu mengandung, dan berdampak terhadap pertumbuhan tinggi serta masalah kesehatan yang dapat berlangsung lama hingga sang anak telah beranjak dewasa. 

Kemajuan pembangunan dalam bidang infrastruktur oleh pemerintah tidak pernah menciptakan Indonesia bebas dari kasus stunting. Yang akan berdampak pada gagalnya mengoptimalkan program penanganan stunting. Dengan demikian, pemerintah akan gagal untuk membangun generasi emas bagi keberlangsungan negara di tahun-tahun selanjutnya.

Pemantauan data Rencana Aksi Badan Pangan Nasional per 2023 menyatakan pemenuhan kalori dan energi untuk hidup sehat berasal dari pangan, Prevalence of Undernourishment (PoU) atau kekurangan konsumsi pangan dalam nilainya melonjak hingga 10.21% yang sebelumnya di tahun 2021 memiliki persentase 8.49%. Secara tidak langsung, pengukuran asupan energi minimum sekitar 2.100 kalori per hari tidak terpenuhi dan kurang mencapai target. 

Gambaran umum mengenai pemenuhan jumlah harian energi dan konsumsi pangan yang tidak sesuai standar berbanding lurus  juga dengan persebaran pangan yang sudah tidak seragam untuk satu jenis pangan karena penguatannya hanya berada di protein unggas sebagai komoditas paling sering dikonsumsi.

Selain dari konsumsi daging, sayur dan buah mengalami penurunan persentase tidak sesuai target dengan alasan masyarakat lebih mengedepankan konsumsi karbohidrat sebagai pangan utamanya. Aspek distribusi pangan yang tidak sesuai standar sebab utamanya adalah 50% pangan berasal dari padi-padian.

Persebaran pangan ini menurut tingkat konsumsi juga memiliki alasan utamanya adalah kurangnya pemahaman atas pemenuhan gizi. Lebih lanjut, pemerintah dalam usaha memenuhi pasokan pangan di Indonesia, memiliki jumlah persentase yang dirasa kurang mampu melengkapi asupan gizi secara penuh bagi masyarakat ekonomi rentan. 

Ibu yang mengandung sang anak sejak awal memiliki risiko stunting yang hingga hari ini menjadi momok menyeramkan karena efek dominonya yang dapat mempengaruhi anak dalam banyak hal. Dalam hal ini, pemerintah seharusnya lebih memperhatikan asupan gizi selama ibu mengandung kemudian proses tumbuh kembang anak-anak yang diharapkan setiap orang tua, yaitu kondisi kesehatan anak tanpa menderita.

Efek domino stunting bukan hanya kepada tinggi badan atau berat badan, tetapi beberapa kasus, anak-anak dengan stunting memiliki daya kognitif atau kecerdasan yang cenderung lebih lemah. Data riset kompas.id mengenai stunting di perkotaan menyatakan ada beberapa kondisi lain, yaitu berupa keterbelakangan mental, kemampuan mempelajari yang rendah, atau beberapa penyakit serius, seperti diabetes, tuberkulosis, dan hipertensi.

Keberlanjutan dari kurangnya daya berpikir atau kognitif tersebut akan dirasakan saat anak telah dewasa, yaitu susahnya menelaah keadaan sosial, kurang berempati, dan sulit mencari pekerjaan. Kondisi lain juga menyebabkan dirinya kurang diminati, dihargai ataupun tidak memiliki banyak teman. Sulitnya kondisi tersebut disebabkan oleh keterbelakangan dari dampak yang dirasakan, serta didasarkan pada banyak faktor.

Kondisi yang masyarakat derita menunjukkan banyak faktor yang dapat menyebabkan stunting, baik pra-kehamilan hingga pasca-kehamilan. Faktor-faktor ini dekat dengan keseharian masyarakat, tetapi hampir tidak disadari oleh kalangan luas mengenai penyebabnya. Penyumbang utama dari stunting ini, menurut penulis adalah kemiskinan struktural. 

Dilansir dari kompas.com, dari jurnal Kemiskinan Struktural Informasi, ditulis oleh Tuti Widiastuti menjelaskan kemiskinan struktural merupakan kondisi kelompok masyarakat secara struktur sosial masyarakat tidak memiliki kesempatan atas penggunaan sumber pendapatannya. Penjelasan tersebut merujuk terhadap kemampuan ekonomi yang rendah (rentan) serta di bawah garis kemiskinan. 

Lingkungan dengan pendapatan ekonomi rendah  merupakan awal dari kasus stunting dikarenakan rendahnya daya beli atau konsumsi makanan bergizi. Normalnya, gizi diperlukan dalam tahap pertumbuhan, seperti asam folat, vitamin B, dan semacamnya. Akan tetapi, hal itu tidak pernah tercukupi dengan baik karena alasan ekonomi atau kurangnya pelayanan kesehatan yang merata kepada semua kalangan. 

Menurut hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI), dilaporkan oleh Kementerian Kesehatan menerangkan bahwa kasus stunting di Indonesia per tahun 2022 mencapai angka 21.6%. Lebih jelas, angka 21.6% menyatakan jumlah anak terkena stunting berjumlah 4.558.899 juta. Tiga provinsi di Indonesia, seperti Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Barat, dan Papua merupakan provinsi yang memiliki angka stunting lebih besar dibanding provinsi-provinsi lain dengan jumlah persentase 34-35%.

Adapun, Indonesia sebagai negara yang berkembang, dalam upayanya menunjang pelayanan publik terutama kesehatan memang sedang gencar dilakukan. Beberapa pelayanan kesehatan di Indonesia didukung secara langsung oleh United Nations Children's Fund (UNICEF), seperti program sanitasi dan air, makanan pemulihan atau Ready to Use Therapeutic Food (RUTF), kampanye bersama, Pemberian Makanan Tambahan (PMT) dan lain sebagainya.

Namun, pelayanan yang dibangun tersebut nyatanya kurang berhasil menyelesaikan kasus stunting, jumlah angka malnutrisi di Indonesia merupakan yang tinggi di tahun 2022. Dikutip dari databooks, peringkat Indonesia di Asia Tenggara menduduki posisi tiga dengan perolehan persentase sebesar 6,5% yang dirilis oleh Food and Agriculture Organization (FAO) dalam laporan terbarunya, The State of Food Security and Nutrition in the World.





Penulis: Muhammad Rizki

Editor: Bintang Prakasa