(Foto: sedang berlangsungnya acara/Na'ilah)

Marhaen, Jakarta - Forum Pengada Layanan (FPL) bersama Perempuan Mahardhika mengadakan media briefing yang bertajuk  “Refleksi 3 Tahun Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS)” dan dihadiri oleh media serta elemen masyarakat sipil lainnya di gedung Komisi Nasional (Komnas) Perempuan pada Kamis, (22/05/2025).

Acara tersebut ditujukan untuk menagih komitmen negara pasca pengesahan UU TPKS 2022 lalu, sebab masih terjadinya kendala dalam berbagai sektor yang menjadi alasan terhalangnya pelaksanaan UU tersebut. Salah satunya adalah mandeknya pembuatan UU turunan guna memperkuat, mempercepat pencegahan dan pemantauan serta koordinasi bukan hanya dalam tatanan masyarakat, tetapi terutama pada sektor penegakan hukum.

Pasca disahkan hingga sekarang, FPL telah menangani 511 kasus kekerasan seksual yang diproses hukum hanya 93 saja melalui UU TPKS. Persoalan ini terjadi akibat tidak adanya UU turunan tadi, sehingga Aparat Penegak Hukum (APH) kebingungan atau belum bisa menggunakan UU TPKS sebagai alat jera bagi pelaku.

“Kalau bicara tantangan seperti yang tadi di awal beberapa regulasi itu belum ada, karena pengalaman kami di beberapa wilayah terkadang APH itu masih melihat ini tuh belum ada aturan turunnya. Meskipun kita lihat tadi soal aturan turunan tentang pendidikan itu pun sudah ada, tetapi saat kita berjumpa atau pada penanganan kasus tidak serta merta APH juga bisa menggunakan regulasi ini,” ucap Ina Irawati Tim Advokasi UU TPKS FPL.

Selain itu, tantangan kesulitan APH lainnya  juga dipaparkan oleh Ajeng Gandini Kamilah dari Institute for Criminal Justice Reform, ia mengatakan bahwa APH khususnya kepolisian juga sering kali tidak menanggapi laporan korban dengan baik.

“Lapor nih ke polisi kena KS (Kekerasan Seksual) mana buktinya. Bapak yang kerja harusnya bukan kita. Pembuktian itu tugasnya bapak aparat bukan korban,” ujarnya.

Di akhir acara Ajeng juga menegaskan bahwa memang ketidaktahuan aparat bisa menjadi penghambat pelaksanaan, tetapi dengan kerjasama multisektor mulai dari masyarakat hingga di lingkungan pendidikan seperti kampus bisa menjadi tempat di mana memulai perjuangan tersebut.

“Berkat kita semua juga, teman-teman FPL yang di daerah, teman-teman mahasiswa juga yang mendorong, karena seenggak tau itu aparat soal TPKS. Jadi, itu pasal-pasal bisa di print kasih unjuk langsung ke polisi dan teman-teman di kampus bisa sebarluaskan. Jadi bener-bener perjuangan karena ini memang kerja panjang, TPKS dalam teori hukum Lawrence itu cuman substansinya aja strukturnya itu mandat turunannya dan kulturnya itu yang susah, ini tuh bukan lagi hukum, tapi udah persoalan sosial jadi memang geraknya harus mulai dari bawah,” tutupnya. 




Penulis : Na'ilah Panrita Hartono
Editor : M. Zacki P. Nasution