(foto: ilustrasi seorang perempuan yang bertahan hidup di bawah kesulitan /scroll.in) 

Marhaen, Jakarta - Fasilitas umum atau fasilitas publik merupakan sarana-prasarana yang disediakan pemerintah untuk menunjang pelayanan serta mempermudah pemenuhan berbagai kebutuhan bersama, tetapi hingga saat ini ruang publik itu sendiri tidak lagi aman dan jauh dari kata nyaman.

Ruang dan fasilitas publik seperti transportasi umum, taman kota, dan trotoar seharusnya dirancang dengan pertimbangan tertentu. Seperti kebutuhan dan perlindungan bagi masyarakat, khususnya perempuan. Kebijakan dari pemerintah punya andil besar dalam upaya mewujudkan keamanan dan kenyamanan pada fasilitas publik tersebut.

Namun, fasilitas-fasilitas tersebut belum benar-benar aman bagi perempuan. Banyaknya kasus yang terjadi pada setiap tahun yang selalu meningkat bahkan sulit sekali ditindaklanjuti dengan jelas menjadi bukti dan membuat ketakutan akan kenyamanan di ruang publik itu sendiri.

Dalam catatan tahunan (CATAHU) 2024 mengenai Kekerasan Berbasis Gender terhadap Perempuan (KBGtP) terdapat sebanyak 330.097 kasus, meningkat sejumlah 14,17% dibandingkan pada tahun 2023. Berdasarkan ranahnya, KBGtP di ranah personal lebih tinggi (309.516 kasus) dibandingkan dengan ranah publik (12.004 kasus) dan negara (209 kasus). Terdapat data yang tidak dapat diidentifikasi ranahnya yang mencapai 8.368 kasus yang berasal dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA).

Dalam momentum peringatan Hari Angkutan Nasional pada 24 April 2025, Komnas Perempuan juga menegaskan bahwa setiap orang berhak untuk merasa aman dan bebas dari kekerasan seksual di mana pun, termasuk di transportasi umum. Transportasi umum seharusnya menjadi ruang yang inklusif, ramah, dan bebas dari ancaman kekerasan, tetapi pada fakta di lapangan menunjukkan hal sebaliknya.

“Komnas Perempuan mengingatkan bahwa kekerasan seksual di ruang publik, termasuk transportasi umum, merupakan pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS),” ucap Ratna Batara Munti dari Komnas Perempuan. Kamis (24/04/25).

Fasilitas-fasilitas yang seharusnya menjadi penunjang masyarakat, justru menjadi tempat yang tidak aman bagi mereka. Tingginya angka kasus juga sejalan dengan anggapan bahwa pelecehan seksual di ruang publik adalah hal ‘sepele’ dan tidak berkonsekuensi. Belum lagi stereotipe yang menyalahkan cara berpakaian atau tindakan korban. Ini membuat pelaku justru seakan mendapatkan legitimasi untuk melanjutkan kejahatan tanpa ancaman hukum atau penghakiman sosial. Dalam Pasal 12 Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) menyebutkan bahwa “Setiap orang yang melakukan pelecehan seksual di tempat atau fasilitas umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.”

Pemerintah sebagai pengambil kebijakan wajib memastikan fasilitas ruang publik lebih inklusif, aman, dan nyaman bagi semua pengguna. Khususnya perempuan, yang sering menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual. Di sisi lain, masyarakat sendiri mengharapkan perlindungan yang maksimal dari payung hukum yang berlaku. Seperti dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 28G dan pasal 281 dan Undang-undang No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Namun, sebenarnya sejumlah Undang-Undang tersebut juga memiliki banyak kelemahan secara implementasi dalam perlindungan saksi dan korban. Masih perlu perbaikan agar perlindungan maksimal dapat diberikan kepada korban.

Upaya pencegahan bisa dilakukan dengan menyuarakan himbauan anti kekerasan seksual di angkutan umum, seperti kereta, ojek dan taksi online, atau bus. Seperti yang telah dilakukan oleh PT Kereta Api Indonesia dan penanganan kekerasan seksual, baik di luar ataupun di dalam armadanya hingga di lingkungan kerjanya.

Penyedia jasa transportasi umum harapannya juga bisa melakukan praktik yang sama untuk meningkatkan kualitas pelayanan yang nyaman bagi penggunanya, termasuk dalam menindak tegas bagi pelaku.

“Contohnya yang dilakukan oleh PT KAI dengan CCTV Analytic yang dapat mengenali terduga pelaku sehingga dapat mencegah pelaku masuk ke area stasiun dan menggunakan KRL sebagai efek jera. Hal ini juga berlaku untuk kereta jarak jauh yang mampu mengidentifikasi pelaku dari kartu identitasnya,” ujar komisioner Devi Rahayu. Kamis (24/04/25).

Lalu, Komnas Perempuan merekomendasikan agar penyedia jasa angkutan umum dapat menyusun dan menerapkan Standar Operasional Prosedur (SOP) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di angkutan umum dan lingkungan kerjanya, juga aktif melakukan pembinaan terhadap petugas untuk merespons laporan korban secara empatik. 

Dilansir dari kompas.id, bahwa tidak adanya ruang aman bagi perempuan karena pelecehan & kekerasan seksual sendiri dapat terjadi di mana saja bahkan pelakunya sendiri selain masyarakat biasa, tetapi dari orang-orang yang seharusnya memberi kita rasa aman yaitu para aparat, dosen, guru, hingga dokter. Adapun dampak dari jangka panjang ini mengindikasikan adanya trauma mendalam dan berbahaya bagi individu. Semakin banyak orang mengalami hal itu bukan lagi merugikan individu, tetapi juga berpengaruh terhadap produktivitas suatu kota dan negara secara umum.

Adapun yang memang masih dipertanyakan hingga saat ini, ialah belum tercapainya ruang publik (transportasi umum) yang aman dan nyaman bagi perempuan, karena kenyataannya menunjukkan bahwa perempuan masih menghadapi berbagai bentuk kerentanan dalam mengakses ruang-ruang publik dan transportasi publik.





Penulis : Nesya Ajeng Murtiatin

Editor : M. Zacki P. Nasution