Judul : Paya Nie
Penulis : Ida Fitri
Penerbit : Marjin Kiri
ISBN : 978-602-0788-56-2
Jumlah Halaman : 196 Halaman
Tahun Terbit : 2024
Novel ini menceritakan 4 perempuan bernama Ubiet, Mawa Aisyah, Cuda Aminah dan Kak Limah yang tinggal di kampung Salamanga pada masa konflik Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan tentara, mereka sehari-hari mencari purun danau (binyeut) di sebuah rawa Paya Nie untuk digunakan membuat tikar yang dijadikan sebagai sumber penghasilan di rumah masing-masing, di tengah aktivitas mereka terselip pengalaman dan luka masa lalu.
Di tengah aktivitas mereka, Kak Limah bercerita tentang pengalaman tidak mengenakan. Ia pernah melihat tetangganya, yakni Khadijah menangis dengan lebam biru di ujung bibir, hal tersebut membuat Kak Limah bertanya tentang keadaannya lalu detik itu juga Khadijah menangis dan menceritakan kejadian semalam karena tidak bisa memberikan uang rokok suaminya kemudian dipukul di depan anaknya, Khadijah terus bersabar dengan alasan almarhum ibunya mengatakan letak surga seorang istri ada pada kebahagiaan suami.
Setelah Kak Limah cerita, mereka melanjutkan obrolan sambil bercanda, tiba-tiba datanglah perahu dengan 2 orang anggota GAM di mana salah satunya Teungku Bugak dianggap bisa menghilang dan tidak mempan senjata, konon katanya pengadangan truk yang menewaskan 6 tentara dipimpin Teungku Bugak.
Ubiet juga teringat kejadian 6 bulan yang lalu terdengar suara letusan dan tembakan, 6 orang tentara tewas sedangkan anggota GAM tidak ada korban, para tentara yang marah melihat tubuh temannya hancur menyusuri rumah untuk menanyai keberadaan orang GAM dan menyiksa orang-orang kampung Salamanga.
“Peluru memang tak pernah mengenal siapa korbannya terlebih dahulu, karena bila diperkenalkan, bisa saja ia menjadi tersentuh dan tidak tega untuk membunuh, yang membuat derajatnya sebagai pembunuh mematikan meluncur turun.”
Kejadian di malam hari seorang tentara menyeret gadis remaja ke bawah semak-semak, sebuah pistol ditodongkan di kepala gadis itu, tentara itu menarik paksa kain gadis yang menangis terisak. Gadis remaja mencoba melawan untuk terakhir kali, sebelum mahkotanya direnggut paksa dan digilir oleh empat laki-laki.
Di tengah kegiatan mencari binyeut terdengar suara letusan dan tembakan, hal itu membuat mereka panik bahkan memikirkan orang tua dan anak di rumahnya, akibat perang tersebut merugikan orang yang tidak bersalah dan memakan banyak nyawa.
Kak Limah menceritakan 2 bulan setelah ia dilepaskan tentara yang menyekapnya, di mana saat disekap tentara itu melakukan pemerkosaan kepada perempuan muda yang menangis ketakutan, Kak Limah sudah berpikir mati daripada disiksa terus menerus seperti mencabut kuku-kuku, mereka tidak peduli pada teriakan. Jika ada marinir yang terluka atau tertembak dalam penyerangan maka penyiksaannya dilipatgandakan bahkan mereka tak segan melecehkan.
Novel ini menggunakan teknik kilas balik serta beberapa kata yang menggunakan bahasa daerah sehingga disarankan untuk foto atau mencatat bagian tersebut jadi ketika proses membaca memudahkan tidak perlu melihat ke halaman tersebut. Namun, Terdapat kekurangan dalam novel ini, yaitu kesalahan dalam penulisan kata seperti mengililingi di halaman 4 dan sejata di halaman 109, tetapi tidak mengganggu proses membaca karena saya sendiri sangat menikmati membaca novel ini dengan perasaan kesal, marah dan sedih terlebih saat bagian kekerasan seksual, serta membaca novel ini saya jadi hafal beberapa kata daerah.
Menurut saya, novel ini lebih cocok untuk dibaca yang berusia 17 tahun ke atas karena pembahasan yang sensitif seperti kasus patriarki, kekerasan dalam rumah tangga, kasus pelecehan seksual, dan konflik yang merugikan pihak tidak bersalah.
Penulis : Anisa Tri Larasety
Editor : M. Zacki P. Nasution
0 Comments