(Foto: sedang berlangsungnya diskusi/Dinda)

Marhaen, Jakarta - Koalisi Reformasi Polri (RFP) bersama dengan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menggelar diskusi publik dan peluncuran buku saku dengan judul "Merindukan Hoegeng: Mengapa Polri Perlu Direformasi?" Selasa (30/04/2025).

Sejak 1998 tepatnya hampir 27 tahun Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) berpisah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) dan menjadi instansi sendiri yang tidak berhubungan lagi dengan tugas-tugas kemiliteran, tetapi tindak-tindak represif dan militerisme tidak mengalami banyak perubahan.

Dilansir dari antara.com, pada 5 Oktober 1998 perdebatan tentang pemisahan Polri dari ABRI semakin menguat. Presiden Habibie kemudian meresponnya dengan mengeluarkan Instruksi Presiden No. 2 tahun 1999 yang menyatakan pemisahan Polri dari ABRI.

Dalam diskusi kali ini tercatat ada 7 permasalahan dasar instansi Polri, sesuai dengan apa yang ada dalam buku saku, yakni keterlibatan polisi dalam bisnis-bisnis haram, hal tersebut selaras dengan apa yang disampaikan Rizaldi selaku perwakilan dari RFP dan YLBHI.

"Kita melihat ada berbagai masalah yang dibagi menjadi 7 masalah Polri di buku saku itu yang pertama Keterlibatan polisi dalam bisnis-bisnis atau uang haram, polisi terlibat langsung dalam bisnis-bisnis, atau uang haram yang biasa kita menyebutnya itu off budget mechanism. Polisi terlihat berbisnis di sektor tambang, keamanan, bahkan terlibat langsung di bisnis judi online dan prostitusi," ucapnya.

Selain bisnis haram yang melibatkan lembaga kepolisian, tidak adanya peta jalan yang membangun budaya kepolisian setelah terpisahnya Polri dan ABRI mengakibatkan masih langgengnya sikap represif dan militerisme yang melekat pada instansi ini. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan Asfinawati.

"Mungkin kita ini sebagai bangsa dan negara ini salah mengidentifikasi masalah Polri, memang betul ketika dia menjadi bagian dari TNI yang paling mengemuka adalah masalah sifat militeristiknya, tapi masih banyak yang lain seperti yang teman-teman sampaikan (7 permasalahan dasar), karena tidak ada peta jalan yang memundurkan kultur-kultur yang seharusnya tidak dimiliki Polri maka kultur itu tetap terikat dan berjalan maju hingga saat ini,” ujarnya.

Polri merupakan lembaga yang bertanggung jawab memelihara keamanan, ketertiban masyarakat, memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Namun, justru melanggengkan kesalahan yang bertolak belakang dengan tanggung jawab yang diamanatkan. 

Pembenahan struktural dan pembangunan budaya kepolisian dengan tidak memasukkan tindakan kekerasan atau yang berhubungan dengan militerisme di dalamnya. Penghukuman yang sesuai kepada para pelaku yang terlibat dalam bisnis haram dan memasukan perspektif terhadap korban juga kelompok rentan, dan mengedepankan Hak Asasi Manusia dalam pendidikan Polri tidak kalah penting untuk mengurangi tindak represif dan melunturkan budaya militerisme.




Penulis: Dinda Aulia

Editor: M. Zacki P. Nasution