(Foto: sedang berlangsungnya diskusi publik/Nesya) 

Marhaen, Jakarta - Jakarta menjadi salah satu kota yang tercatat dengan kualitas udara paling buruk nomor urut dua dari seluruh dunia. Akan tetapi, terkait polusi udara ini respon pemerintah belum menjawab permasalahan atas pemensiunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) hingga saat ini. 

Adanya regulasi pemensiunan PLTU di Indonesia ini terjadi karena banyaknya keresahan dari masyarakat terkait polusi udara yang tak kunjung terselesaikan permasalahannya hingga saat ini. Terdapat 16 PLTU Batu Bara di pulau jawa dengan konsentrasi tertinggi di Banten dan Jawa Barat serta yang terdekat dari Jakarta ialah PLTU Cikarang. 

Salah satu respon terhadap situasi tersebut adalah diajukannya permohonan informasi publik bersama akademisi dan pengacara publik Lembaga Bantuan Hukum (LBH) lainnya dengan beberapa dokumen lingkungan yang ada dengan konteks PLTU ini dikarenakan melihat adanya keresahan dari masyarakat.

“Dengan hal ini, tentu adanya keresahan terkait polusi udara yang menjadi masalah yang belum terselesaikan sehingga agenda transisi energi ini perlu didorong agar tercipta sebuah kepastian sekaligus menjaga lingkungan hidup yang baik dan sehat,” ujar Jauhar Kurniawan perwakilan dari LBH Surabaya dalam diskusi publik mengenai “Udara Kotor, Hak Terenggut: Mendorong Transisi Energi yang Adil dan Terbuka” ditayangkan langsung di kanal YouTube Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Selasa (29/04/2025).

Banyaknya permasalahan lingkungan yang terjadi akibat dampak PLTU ini sendiri, salah satunya PLTU Paiton, yaitu menjadikan kelompok nelayan yang biasanya mereka mendapatkan ikan banyak dalam tangkapan semalam, tetapi pasca beroperasinya PLTU ini membuat mereka mendapatkan ikan dengan waktu yang cukup panjang. 

Selain itu, ada dampak lainnya termasuk kedalam kesehatan sendiri. Seperti, dilansir dari (Study CREA) polusi dari PLTU Suralaya-Banten 4 Gigawatt (4 GW) berdampak negatif terhadap kesehatan masyarakat dan mencatat 1.470 nyawa/tahun salah satunya kematian pada dewasa ini diakibatkan stroke, jantung iskemik, infeksi saluran pernapasan bawah, paru obstruktif kronik, diabetes dan kanker paru-paru yang juga disebabkan oleh paparan particulate matter 2.5.

Advokasi kebijakan di PLTU Ombilin dan Suralaya itu memunculkan yurisprudensi dari Mahkamah Agung dan sebenarnya dokumen seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup (RPL) dan izin lingkungan itu merupakan dokumen yang seharusnya wajib dibuka untuk publik, tetapi selama ini dokumen tersebut  tidak bisa diakses oleh masyarakat sendiri.

“Saya juga ingin menambahkan yang sudah dijelaskan oleh mas Jauhar terkait keterbukaan informasi publik, sebenarnya dengan keterbatasan informasi yang publik tidak tahu itu akan menghambat partisipasi yang bermakna. Selain itu, juga akan menghambat publik mengambil intervensi yang lebih jauh terhadap hak hidup dan angka bukan hanya sebatas angka, itu ada nyawa dan kehidupan seseorang yang terenggut dari dampaknya,” ucap Jihan Fauziah Hamdi perwakilan dari Earthjustice.

Adapun yang juga menjadi bagian menarik dalam diskusi publik kali ini, yakni bagi para pecinta Kpop sendiri salah satunya pada tahun 2023 adanya kampanye yang dilakukan oleh penggemar Kpop atau  kita sebut komunitas aktivis iklim yang tergabung dalam Kpop4Planet yang bernama “Hyundai, Drop Coal!” yang dipromosikan oleh salah satu boyband Korea Selatan ternama, yaitu BTS. 

Hal ini untuk mendesak salah satu brand ternama, yakni Hyundai agar membatalkan pembelian aluminium Adaro yang diproduksi oleh PLTU Batubara di Kalimantan Utara sebesar 1.1 Gigawatt. Energi yang dibutuhkan itu sangatlah besar dan terkait kampanye tersebut banyaknya dukungan oleh ribuan penggemar Kpop lainnya sehingga dengan adanya solidaritas ini Hyundai pun membatalkan perjanjian pembelian aluminium dengan PT. Adaro Minerals Indonesia Tbk.




Penulis : Nesya Ajeng Murtiatin

Editor : M. Zacki P. Nasution