(Foto: seorang anak dalam kereta dorong memegang poster tuntutan/Na'ilah)

Suara teriakan mengepung jalanan depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Para buruh turun ke jalan dari berbagai kalangan menyuarakan tuntutan dalam memperingati Hari Buruh. Orasi dan teriakkan tuntutan menjadi pengiring layaknya sebuah soundtrack aksi hari ini.

Di tengah riuh jalanan dan bendera sepanjang mata memandang dan juga atmosfer semangat perjuangan para buruh, terlihat sebuah kereta dorong anak-anak lewat di hadapan. Dua orang ibu dengan anak kecil mungil sambil membawa poster tuntutan mengalihkan perhatian sementara dari aksi yang sering kali kita tahu sangat maskulin dan tak ramah bagi perempuan atau bahkan anak.

Kedua orang ibu itu juga terlihat memegang poster tuntutan yang sama, yaitu terkait daycare atau tempat penitipan anak. Bagi salah seorang ibu bernama Syahar Banu datang ke aksi bersama anak adalah bentuk perjuangannya untuk didengar dan dilihat sebagai bentuk keprihatinan yang nyata.

“Perjuangan buruh adalah perjuangan para pekerja juga kan, jangan-jangan kalau kita tidak turun mungkin tidak ada yang menyuarakan, kalau mungkin ada poster soal daycare di sini, tapi apakah teman-teman kalau gak ada kita hadir di sini kalian notice itu posternya kan gak juga. Jadi, kayaknya emang harus bertindak ekstra untuk mencapai sebuah tujuan,” ujarnya saat aksi. Kamis (01/05/2025).

Baginya tuntutan soal daycare adalah keharusan bagi pemerintah untuk menyediakan layanan akses bukan sekedar janji, tetapi keinginan secara politis untuk mewujudkan itu karena banyak sekali perempuan yang pada akhirnya harus memilih antara pengasuhan dan kehidupan kerja.

“Sebab kalau negara bantuin kita dan daycare kita baik anak itu tumbuh kembangnya bagus, terus stunting-nya juga tercegah dan vaksinnya terpenuhi dan kita juga bisa  memantau tumbuh kembang sambil bekerja dengan tenang kita gak perlu misalnya kehilangan penghasilan kita atau pekerjaan sosial kita,” tambahnya.

Menurutnya persoalan pengasuhan ini juga merupakan permasalahan struktural sebab jika seorang ibu tidak bisa membayar daycare, ia hanya bisa memilih membayar asisten rumah tangga yang mana sering kali dibayar dengan upah tak layak sebab sudah lebih dari dua puluh tahun pemerintah masih belum bisa menerbitkan Undang-Undang sehingga adanya kekosongan hukum. 

Siang itu hari semakin terik matahari seakan ada di atas kepala, tetapi bagi seorang ibu perjuangan atas pemenuhan hak-haknya dan anaknya seperti api yang tak mau padam. Absennya pemerintah merupakan suatu ketidakpedulian dan pengabaian. Padahal isu perempuan, ibu atau kaum tertindas lainnya sering kali dijadikan ajang mencuri atensi saat kontestasi pemilihan entah itu legislatif sampai eksekutif.

Orang-orang terus berlalu-lalang beberapa pun ikut tercuri perhatiannya melihat kedua ibu itu, salah seorang ibu lain bernama Gina Sabrina baginya pemerintah saat ini masih abai akan hak-hak pekerja perempuan ia juga merasa penyediaan daycare sangatlah penting karena jika dilihat dari harganya cukup mahal sedangkan upah buruh saat ini masih sangat kecil.

“Seharusnya pemerintah memenuhi hak-hak pekerja perempuan dan juga soal daycare sebab dalam banyak studi pekerja perempuan mempunyai kontribusi yang sangat positif untuk pertumbuhan ekonomi. Ketika pemerintah abai dengan pekerja perempuan sama saja pemerintah bunuh diri karena akan berdampak kepada ekonomi Indonesia itu sendiri,” pungkasnya. Kamis (01/05/2025).

Selain itu, baginya tidak tersedianya daycare ini adalah hal yang cukup dilematis dan membebankan perempuan sebab jika tidak adanya fasilitas yang mendukung seorang ibu untuk bekerja ia pasti akan terpaksa keluar dari pekerjaannya. Baginya juga penyediaan daycare bukan hanya untuk pekerja formal tapi juga di sektor non-formal sekalipun.

“Pemerintah harus bekerja sama dengan perusahaan, tetapi pemerintah juga wajib menyediakan daycare secara mandiri untuk pekerja lain yang non-formal yang gak punya kantor atau freelance. Maka, harus ada daycare-daycare mandiri yang juga disediakan oleh pemerintah,” tutupnya.





Penulis : Na'ilah Panrita Hartono
Editor : M. Zacki P. Nasution