(Foto: ilustrasi bombom/Nandana)

Perkenalkan aku adalah sapi bernama bombom yang tinggal di pekarangan ini. Hari ini ditemani hujan aku menangis di pojok pekarangan karena aku tahu dengan tubuhku ini, aku tidak akan bisa dipilih untuk menuju tempat pengurbanan.

Berpuluh-puluh tahun lamanya para sapi di sini percaya bahwa alasan manusia selalu memberikan sapi makanan yang enak, suplemen dan minuman yang segar karena manusia ingin mengantarkan para sapi ke tempat pengurbanan. 

Tempat pengurbanan adalah tempat  di mana tempatnya para sapi bahagia, sebuah padang rumput yang luas, minum air langsung dari pegunungan dan para sapi akan kekal di sana, tidak akan pernah lelah seumur hidupnya. Tetapi sayangnya tempat pengurbanan itu hanya bisa diraih hanya oleh  para sapi terpilih yang badannya besar dan gagah

Aku sering mendengar gosip tentang orang tuaku dari para sapi lain. menurut mereka, orang tuaku adalah sapi-sapi tergagah di tempat ini, postur tubuh ayahku tinggi besar, pinggulnya lebar, ototnya terlihat padat dan bobot badan ayahku paling besar di sini. Tak terkecuali ibuku, walaupun ada anggapan bahwa sapi betina biasanya tak sebesar sapi jantan, ibuku berbeda walaupun badannya tidak sebesar ayahku tapi dari bobotnya juga iya besar, bahkan ada yang ngomong bahwa dialah sapi terbesar kedua di sini sebelum ayahku.

Tetapi sayangnya aku tidak seperti orang tuaku, badanku ini adalah yang paling kecil diantara teman-teman sebayaku. Aku sering diejek oleh para temanku di sini karena menurut mereka diriku sangat berbanding terbalik dengan orang tuaku yang gagah. Begitu juga dengan ayahku, ia selalu memandangku rendah karena tidak sama sepertinya. Ia merasa bahwa aku bukanlah anak kandungnya, ayah bahkan selalu mengusirku ketika aku mendekatinya saat sedang ia sedang mengobrol dengan temannya.  Ayahku bilang tidak mau dipandang rendah oleh teman-temannya karena mempunyai anak  yang kurus kering seperti diriku.

Itu berbeda dengan perlakuan ibuku, ia sangat sayang kepadaku. Saat aku sedang nangis sendirian di pojok peternakan karena perkataan ayahku itu, ia menghampiriku dan menemaniku lalu bilang “Bom, aku yakin kok sebenarnya kamu bisa mendapatkan yang kamu mimpikan, asal semangatmu dan perjuanganmu itu harus lebih besar dari mimpimu.” Kata ibuku menenangkan. Air tangisanku tambah deras di situ karena kata-kata ibuku, ibuku benar saat itu aku tidak bisa hanya sedih seperti ini, aku harus terus berjuang.

Setelah kejadian dengan ibuku itu aku langsung sadar bahwa ini semua juga bisa dilakukan jika aku berusaha, bahkan aku dilabeli si rakus oleh para sapi-sapi disana. Aku selalu menunggu dengan semangat saat rumput disebarkan untuk para sapi disana, dan langsung memakannya dengan sangat lahap. Bahkan suplemen pait yang tidak disukai oleh para sapi, aku selalu bersedia untuk menyantapnya. 

Salah satu sapi bernama bobby, melihat aku menyantap suplemen saat itu sambil meringis, lalu ia bilang “Bom kamu ngapain si sok-sokan suka suplemen dan jadi rakus seperti itu, kamu itu tetaplah sapi kurus dan tidak akan pernah menjadi penghuni tempat pengurbanan. nikmatin lah hidup saja, seperti aku yang memakan rumput dengan tenang.” Kata dia menatapku aneh. 

Aku hanya diam dan tetap memakan suplemenku, walau rasanya pahit dan tenggorokanku mulai perih. Tapi lidahku sudah terbiasa, karena aku tahu, rasa pahit tidak akan membunuhku. Yang bisa membunuhku adalah menyerah. 

Tunggulah saja siapa yang akan dipilih pertama untuk menjadi penghuni pengurbanan, satu hal yang pasti itu bukan engkau sapi yang hanya berhenti di kenyamanan saat ini.

Hari pemilihan tiba di tahun itu, aku yang masih berumur 1 tahun hanya bisa menatap dari kejauhan saat ayahku, dan ibuku terpilih saat itu dan menaiki kendaraan besar untuk menuju tempat pengurbanan. sudah tidak ada lagi suara lembut ibu yang menyemangatiku, sudah tidak ada lagi yang menasihati saat aku menyerah. Untuk ayahku, aku hanya berharap dia terjatuh di tengah perjalanan dan tak pernah sampai.

Aku bersyukur kepada manusia yang selalu mengasihi apa yang kita butuh, bahkan membangun tempat pengurbanan sebagai tempat terakhir para sapi. Aku sekarang mengerti kenapa hanya yang gagah lah yang dimasukkan ke tempat itu, mereka mau agar para sapi tetap berusaha, tetap kerja keras di tengah kenyamanan yang telah diberikan. 

Setahun telah berlalu.

Kini hari pemilihan itu tiba lagi. Aku yang sekarang berbeda, aku yang berotot, tubuhku yang bongsor dan panjang. Sekarang, sudah tidak ada yang berani menghinaku, kini akulah yang paling besar di peternakanku ini, itu semua karena aku percaya bahwa usaha yang keras tak akan mengkhianati hasilnya.

Dari semua sapi di sana hanya akulah yang dipilih. Aku disoraki dengan kencang di sana, karena mereka tau bagaimana perjuanganku saat itu. aku diajak menaiki kendaraan besar itu, untuk menuju ke tempat mimpi-mimpi besar para sapi. kendaraan itu berjalan cukup pelan mungkin agar aku bisa menikmati perjalananku.

Berhentilah kendaraan itu, diturunkannya aku. Lalu, aku diajak masuk ke dalam, tempat itu tidak sesuai bayanganku, tidak ada kolam susu, tidak ada rumput yang luas. Saat aku memasuki lebih dalam, ternyata sudah banyak para sapi gagah berkumpul, mungkin kami mau dikumpulkan dulu sebelum ke tempat pengurbanan.

Tapi suasananya aneh. Semua sapi tampak bersedih, wajah-wajah muram dengan tatapan kosong. Manusia di sekeliling mereka malah tampak gembira, bersorak sorai.

Aku mendekati salah satu sapi di sana, yang bukan hanya sedih tapi dia selalu mengulang lirih “ibuu…ibuu….,ibuuu….”. 

Sapi lain yang kutanya juga diam, tubuhnya gemetar dan matanya kosong penuh ketakutan.

“kamu kenapa? Tanyaku 

Dia tetap diam

“Hey kamu kenapaa??!!”

Tiba-tiba manusia menarik sapi itu dengan kasar, matanya ditutup, kepala sapi itu dielus-elusnya dengan lembut, namun kemudian, dengan satu hentakan dibantinglah sapi itu, ia menggeliat tetapi semua tubuh dan kakinya sudah diikat. Lalu dengan rapalan-rapalan yang tak kumengerti, diiringi teriakan dari pengeras suara yang makin memekakkan.

Leher sapi itu digorok dengan golok tajam milik manusia, berulang-ulang, berkali-kali. Sapi itu sempat meminta tolong dengan kencang, namun yang terdengar hanya sorak sorai manusia yang bersuka cita.

Tiba-tiba semua suara itu hilang, aku hanya bisa terdiam, tubuhku gemetar dan hatiku hancur. Tempat yang aku yakini adalah tempat beristirahatnya para sapi, hanya tempat dipertontonkannya para sapi untuk mati. bagaimana bisa semua harapan, semua impian yang aku pelihara dari kecil hingga aku besar dan aku jadikan itu nyata, nyatanya hanyalah pembunuhan berencana yang dilakukan oleh umat manusia.

Aku memejamkan mata, berharap semua ini hanyalah mimpi buruk yang bisa kuakhiri dengan membuka mata kembali dan kembali ke peternakan bersama ibuku. Tetapi ini benar-benar nyata, golok itu nyata, sapi yang mati itu nyata, darah yang segera membanjiri tanah itu nyata.

Aku sudah tertipu.

Bukan hanya oleh manusia tetapi juga oleh mimpiku yang kutumbuhkan sendiri.

Aku tumbuh dengan keyakinan bahwa kerja keras akan membawaku ke kebahagiaan. Tapi hari ini aku melihat, bahwa yang dihargai bukanlah perjuangan kami, tetapi hanyalah daging kami. Tubuh gagah kami bukanlah milik kami, tetapi milik orang-orang yang menyantap daging kami dengan lahap. 

Aku tidak tau lagi harus percaya pada siapa, usahaku untuk apa? Perjuanganku untuk apa? Kerja kerasku untuk apa? Kalau semua itu bisa langsung dihancurkan oleh tajamnya golok manusia. 

Tiba-tiba tarikan kasar dari manusia itu mengejutkanku, aku mencoba menghindar, aku mencoba kabur, mencoba mengamuk, datanglah 10 manusia menarik tali yang sudah diikatkannya kepadaku. Aku sudah tidak kuat, aku sudah lelah, terbantingnya lah aku dengan kekuatan para manusia itu. Aku tetap harus berjuang, aku tau usahaku tidak akan pernah mengkhianati hasil, aku percaya bahwa aku bisa lepas.

Lalu dengan rapalan-rapalan itu, manusia mengangkat goloknya dan menancapkan persis di leherku.

Inilah akhir dari diriku.

terima kasih, manusia. Mimpiku telah kau sembelih dengan rapi dan kalian menyebutnya sebagai ibadah.




Penulis: Nandana Arieanta Putra Pramono