(Foto: ilustrasi perampasan tanah warga/indoprogress)

Marhaen, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengadakan webinar yang bertajuk “Meningkatnya Eskalasi Kekerasan Akibat Proyek Strategis Nasional” melalui kanal YouTube-nya. Kamis (12/06/2025). 

Dalam beberapa waktu kebelakang, Pemerintah mengakselerasi pembangunan melalui beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) seperti di Maluku Utara, Papua Selatan dan juga Kalimantan Timur. Akan tetapi, dalam proses pembangunan, PSN sering kali menimbulkan masalah yang membuat masyarakat akhirnya menolak kehadiran PSN. 

Hal itu tidak dilakukan tanpa sebab, beberapa alasannya ialah kerusakan lingkungan akibat dari pembangunan PSN di wilayah proyek, adanya ancaman penggusuran tempat tinggal warga, hingga meningkatnya kekerasan akibat represifitas negara dalam menghalau penolakan dari warga setempat. 

“Pada saat itu ada aparat yang masuk ke masyarakat semacam mensosialisasikan Proyek Strategis Nasional ini ke masyarakat dan di situlah masyarakat mulai merasa terancam, bahwa ini tanah mereka akan menjadi sasaran daripada program-program besar, program-program nasional yang datang di tanah adat. Selang dua bulan dari bulan April, sekitar bulan Juni–Juli itu masyarakat dikagetkan dengan ekspansi excavator yang cukup tinggi, cukup besar yang didistribusi dari Cina ke Merauke. Itu masyarakat sungguh sangat kaget,” ungkap Arnoldus Anda dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua Merauke.

Masyarakat melakukan aksi protes ke pemerintah daerah setempat akibat diambilnya tanah adat dijadikan PSN yang mana hal tersebut dilakukan tanpa adanya persetujuan dari masyarakat sekitar. Anehnya, pemerintah setempat malah mengatakan tidak mengetahui apa-apa karena tidak adanya koordinasi dari pusat. 

Tak hanya itu, dalam melakukan penolakan terhadap kehadiran PSN di berbagai wilayah, warga atau masyarakat sekitar sering kali mengalami kriminalisasi atau ditangkap tanpa alasan yang jelas. 

“tiga minggu yang lalu, ada 30 warga yang ditangkap, kemudian 27 diamankan Polda (Kepolisian Daerah) Maluku Utara. Setelah pemeriksaan, 11 orang ditetapkan sebagai tersangka. Mereka ini dituduh merusak oleh aparat kepolisian, tindakan premanisme. Padahal kalau kita melihat di lapangan tidak ada terjadi kekerasan apapun. Tapi yang terjadi sebaliknya, mereka justru di kriminalisasi dan ini sudah terjadi secara berulang,” ujar Fikram Salim dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Ternate. 

Arnoldus Anda juga mengatakan, telah banyak aduan yang telah ditujukan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) atas berbagai permasalahan yang terjadi, sayangnya tidak ada satupun kasus yang ditindaklanjuti dengan serius oleh negara. 




Penulis: M. Zacki P. Nasution 

Editor: Bintang Prakasa