(Foto: cover buku Air Mata Saudaraku/Lisa)

Judul : Air Mata Saudaraku 

Penulis : S. Mara Gd

Penerbit : Gramedia Pustaka Utama 

ISBN : 978-602-067-090-4

Jumlah Halaman : 341 halaman 

Tahun : 2023  


Novel ini merupakan sebuah cerita yang mengangkat kisah pilu sebuah keluarga keturunan Tionghoa di Surabaya pada masa kerusuhan Mei 1998. Tokoh utamanya ialah Hasan Tandoyo seorang pengusaha muda, ia pergi ke Jakarta untuk membeli bahan-bahan yang habis di tokonya, saat ia kembali untuk pulang, Hasan hanya mendapati rumah dan tokonya sudah dirusak juga dibakar, ibunya yang tewas dibunuh dengan kejam oleh para perusuh sementara Lani adik bungsunya yang mengalami trauma berat akibat diperkosa secara sadis oleh sekelompok orang yang memasuki rumah sekaligus tokonya saat itu. 

Selasa,12 Mei 1998 Nyonya Tandoyo terpaksa mengizinkan Hasan pergi ke Jakarta untuk membeli bahan-bahan tokonya yang sudah mulai menipis, dengan hati yang tak tenang Hasan menyakinkan ibunya agar percaya bahwa ia bisa menjaga dirinya dan kembali dengan baik-baik saja, ibunya pun memberinya kalung jimat yang sudah dipercaya bisa menolak bala sejak zaman nenek buyutnya walaupun Hasan tidak percaya tentang jimat penolak bala itu, tetapi ia tetap memakainya. 

Rabu, 13 Mei 1998 Hasan pun tiba di daerah Mangga Dua Jakarta, pukul sebelas Hasan menemui Chandra sang pemasok langganannya. Disela-sela saat berbelanja, Hasan menelpon adiknya untuk memberinya kabar, Lani adik bungsu Hasan menanyakan sang kakak karena ia melihat di berita bahwa Jakarta sedang rusuh soal penembakan Mahasiswa Trisakti, tetapi Hasan bilang bahwa mahasiswa hanya berdemo seperti biasanya.   

Kamis, 14 Mei 1998 Nyonya Tandoyo yang cemas karena Hasan hilang kabar, ia kebingungan karena melihat berita di televisi bahwa Jakarta hari itu sedang dilanda kerusuhan Mahasiswa yang awalnya hanya menggelar demonstrasi di lingkungan kampusnya sendiri sekarang sudah turun ke jalan-jalan kota Jabodetabek, setelah beberapa jam akhirnya Hasan mengangkat telepon ibunya dan mengabarkan bahwa dia baik-baik saja, malam pun tiba, suasana kota Surabaya makin mencekam, suara motor sang perusuh sudah mulai terdengar. Tak lama suara itu menghampiri toko Hasan. 

Nyonya Tandoyo bergegas lari menuju lantai dua bersama dua pembantunya, Toni sang tunangan anaknya dan Lani anak bungsunya, mereka semua bersembunyi di kamar Lani dan mengunci pintu. Saat sang perusuh tiba di tokonya, Nyonya Tandoyo pergi ke lantai bawah untuk menemui para perusuh itu dan berbicara “ Ambil saja apa yang kalian mau tapi jangan bakar toko ini” singkat cerita saat perusuh tidak menemukan apa yang mereka cari (uang), Nyonya Tandoyo didorong hingga terjatuh dari tangga, senjata tajam pun mengenai wajahnya hingga mengeluarkan banyak darah. Sekelompok perusuh itu pun naik ke lantai dua lalu mereka bertemu dengan Lani yang sedang sendirian di kamarnya dengan wajah yang ketakutan.

Jumat, 15 Mei 1998 Hasan pun tiba di Surabaya, ia langsung bergegas ke rumahnya tetapi saat ia sampai rumah sekaligus tokonya itu sudah hancur, sebagian lantai 1 sudah terbakar, barang-barang yang berserakan dan mesin uang yang sudah hancur tak berbentuk. Ia lari mencari ibu dan adiknya ke lantai dua, tetapi mereka tidak ada, kemudian Hasan pergi ke rumah tetangganya, yakni Om Liang dan menanyakan keberadaan ibu dan adiknya. Om Liang dan Bu Dewi (istrinya) memberikan kabar bahwa ibunya sudah meninggal dan adiknya terbaring lemas di Klinik Gatot Sukmono, seketika tubuh Hasan seperti patung tidak ada pergerakan dan suhu tubuhnya dingin seperti es. Tak lama setelah ia sadar, Hasan diantar Winardi pergi ke Klinik Gatot Sukmono untuk menemui adiknya dilanjutkan menemui jenazah sang ibu di rumah sakit, hari itu seperti mimpi buruk bagi Hasan, ia sangat menyesali tidak mendengarkan dan mempercayai ibunya agar tidak pergi ke Jakarta.

Sabtu, 16 Mei 1998 Hasan tertidur di atas kasurnya yang robek-robek di dalam kamar yang masih berantakan semenjak tragedi itu terjadi, membuat Hasan kehilangan setengah kesadarannya, lalu Inggrid adiknya yang datang dari kota Semarang menghampiri sang kakak dan memegang tangannya sambil menangis tersedu-sedu. Hasan pun bangun dan kebingungan sejak kapan adiknya datang dan langsung bergegas bangun dari tempat tidurnya, perbincangan tentang bagaimana tragedi itu bisa terjadi membuat Hasan kembali terpuruk.

Minggu, 17 Mei 1998 jenazah Nyonya Tandoyo pun dimakamkan, Hasan berusaha tidak menitikkan air mata karena memberikan kata-kata penghormatan terakhir untuk ibunya air mata Hasan pun tak bisa lagi dibendung, Lani pun sadar tetapi dia masih trauma untuk bertemu dengan orang lain terkhusus kakaknya adalah seorang pria. Trauma yang begitu dalam membuat Lani menjadi seorang gadis yang pendiam, ia terbangun dari tempat tidurnya dan langsung menanyakan ibunya lewat kakak perempuannya Inggrid dari kota Semarang, Lani sangat marah karena ia tak diberi tahu bahwa ibunya sudah dimakamkan, Lani terus menerus berbicara “ hidupku sudah hancur, aku ingin mati saja aku ingin bersama-sama dengan mama, biarkan aku mati dengan tenang“.

Senin,18 Mei 1998 pembicaraan pagi hari Dokter Gatot di meja makan saat sarapan “sampai sekarang kok Pak Harto masih belum mengeluarkan pernyataan tentang permintaan pemimpin MPR agar beliau mundur ya, padahal keadaannya sudah kritis seperti ini tapi pak Harto kok seperti adem-ayem saja”. Saat Lani diperiksa oleh Dokter Gatot, keadaannya sudah membaik bahkan dia mempercantik diri dengan memakai bedak dan sedikit lipstik di bibirnya, ia pun sangat gembira karena melihat pasiennya seperti itu, Lani pun sudah diperbolehkan untuk pulang, tetapi masih harus kontrol kesehatannya kepada Dokter Gatot. Sesampainya Lani di rumah, ia langsung disambut oleh kedua kakaknya Cik Ani dan Cik Ing, kedua kakaknya sedang ribut karena membicarakan akan tinggal bersama siapa setelah Lani sembuh nanti, keputusan cepat pun diambil, akhirnya Lani ikut bersama Cik Ani ke Kediri perjalanan ke Kediri berjalan dengan baik, tibalah di kota Kediri, Lani senang namun dia sudah menyusun rencana untuk bunuh diri. Setibanya di Kediri, saat Cik Ani lengah sedikit, tragedi bunuh diri Lani berjalan sesuai dengan apa yang sudah direncanakan olehnya, bunyi dering telepon dari Hasan menanyakan adiknya sudah sampai dengan selamat, tetapi Hasan hanya mendengar bahwa adiknya sudah meninggal karena bunuh diri, Hasan langsung bergegas dari Surabaya ke Kediri untuk menemui adiknya.

Selasa, 19 Mei 1998 keesokan harinya jenazah Lani dibawa pulang sendiri oleh Hasan ke rumahnya, dia sudah tak ingin menunggu ambulan atau pun kereta jenazah, kilas balik sebelum Lani meninggal ia sempat minta dibelikan bedak padat yang sudah ada cerminnya ternyata cermin itulah alat untuk Lani bunuh diri dengan menggoreskan ke denyut nadi di tangannya sendiri, ketiga kakaknya sangat menyesal, tetapi mereka sudah menyadari bahwa ini sudah menjadi takdir. 

Rabu, 20 Mei 1998 peti jenazah Lani diberangkatkan ke pemakaman, hampir tak ada orang lain selain tetangga dekat saja yang datang untuk ikut memakamkan Lani, rupanya orang-orang masih takut dengan isu akan ada huru-hara lagi hari ini. Saat ini Hasan terlihat sangat berbeda dengan saat pemakaman Nyonya Tandoyo, ia lebih terlihat jauh lebih baik dan sudah tidak ada sorot kebencian lagi di matanya, semua emosi Hasan sepertinya sudah terkuras habis dengan apa yang terjadi belakangan ini kepadanya, ia hanya ingin tertidur dengan jangka panjang yang lama untuk melepaskan semua stres yang ada dalam dirinya.

Kamis, 21 Mei 1998 huru-hara berskala nasional yang diisukan pun tak terjadi, sekitar lima puluh ribu mahasiswa di Jakarta memperingati Hari Kebangkitan Nasional dengan meriah di gedung MPR/DPR yang mereka duduki, Amien Rais yang akan memimpin pawai akbar di Monas akhirnya membatalkan rencananya demi faktor keamanan.

Suasana semakin mencekam, bukan hanya di Jakarta saja, tetapi juga di daerah lain seperti Lampung dengan korban 30.000 orang yang terluka. Pagi-pagi warga Indonesia dikejutkan dengan berita pengunduran diri Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden RI, tidak diduga berita itu akan keluar pada hari ini. Singkat cerita, Hasan berpikir untuk menjual Ruko karena sudah tak ada pilihan lain, modal Hasan sudah habis saat tragedi itu menimpa dirinya, ia harus membayar bon-bon barang yang sudah dibeli. Hasan berharap siapapun nanti yang terpilih menjadi presiden bisa menjanjikan tidak akan terjadi hal yang sama seperti Tragedi Mei 1998.

Menurut saya sendiri novel ini tidak hanya menggambarkan bagaimana tragedi 1998 terjadi yang ternyata tidak hanya menghancurkan fisik dan materi saja, tetapi juga meninggalkan luka batin yang mendalam bagi para korban dan keluarganya, serta penggunaan bahasa yang mudah dipahami mempermudah pembaca menangkap pesan yang disampaikan di novel ini. 




Penulis: Lisa Agustina 

Editor: M. Zacki P. Nasution