(Foto: cover buku Nayla/Gramedia Digital)

Judul : Nayla

Penulis : Djenar Maesa Ayu 

Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama 

ISBN : 979-22-1413-5

Jumlah halaman : 180 halaman

Tahun : 2005


Nayla adalah novel pertama Djenar Maesa Ayu yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Ibu dari Banyu Bening dan Btari Maharani ini lahir di Jakarta, 14 januari 1973. Tulisan-tulisannya telah tersebar di berbagai media massa Indonesia seperti Kompas, The Jakarta Post, Republika, Koran Tempo, Majalah Cosmopolitan, dan Lampung Post. 

Novel ini menceritakan bagaimana lika-liku kehidupan keluarga, pertemanan, pasangan dan pekerjaan Nayla. Memiliki judul yang menarik, membuat saya tertarik untuk membahas tentang hubungan Nayla dengan ibu kandungnya dan pacar ibunya yang membuat Nayla trauma secara psikis maupun mental.

Nayla yang berusia menjelang 10 tahun, tetapi ia harus merasakan luka teramat sakit yang mengakibatkan traumatis secara fisik maupun psikis oleh orang-orang terdekatnya, yaitu ibu kandungnya dan pacar ibu. Membuat ia mencari kebahagiaan di luar sebab tidak mendapatkan kasih sayang justru kekerasan yang ia dapat dari seorang ibu dan mendapatkan kekerasan seksual yang dilakukan oleh pacar Ibunya.

Ia masih saja heran kenapa setiap malam ngompol di celana padahal sudah menjelang sepuluh tahun usianya. Ia masih saja heran kenapa ibu tak percaya kalau ia sama sekali tidak malas. Ia juga masih heran, kenapa ibu tega menghukumnya dengan cara seperti itu. kenapa ibu tak bisa berpikir bahwa tak akan ada satu orang anak pun yang memilih ditusuki vaginanya dengan peniti hanya karena ingin mempertahankan rasa malas. (hal 2)

Jika Nayla tidak memilih peniti, ibu akan menamparnya untuk memilih peniti. Kemudian, ujung peniti itu akan dibakar setelah itu jika dirasa sudah steril. Peniti itu akan ditusukkan ke selangkangannya. Ketika Nayla mengapit kedua pahanya, ibu akan murka. Hal itu terjadi selama beberapa tahun yang membuat Nayla sudah tidak takut lagi dengan peniti. Ia malah menantang dengan memilih peniti yang besar. Membuka pahanya lebar-lebar. Tak terisak, tak meronta. Membuat ibu semakin murka, tak hanya selangkangan Nayla yang ditusuknya, tapi juga vaginanya. Nayla diam saja, tak ada sakit terasa. Hanya ada nestapa. Tak ada takut. Hanya kalut. 

Ibu yang seharusnya menjadi tempat aman dan nyaman bagi seorang anak, justru sebaliknya dirasakan oleh Nayla. Hingga akhirnya ia memilih ingin punya ibu, tetapi bukan ibunya sendiri. Ia memilih tidak punya ibu, ketimbang memiliki ibu yang mengharuskannya memilih peniti. 

Nayla pun berpendapat bahwa tak pernah ia mencintai satu pun laki-laki. Tidak sebagai ayah maupun sebagai kekasih. “Saya pernah belajar mencintai perempuan. Mencintai Ibu. Tapi sayangnya, ibu tidak pernah belajar mencintai saya. Ia lebih senang belajar mencintai kekasih-kekasihnya”. 

Ibu tidak mendidik Nayla layaknya ibu-ibu lain. Ibu adalah orang yang sangat rapi dan disiplin. Tak bisa Nayla masuk ke dalam kamar ibu. Nayla harus mengetuk terlebih dahulu. Bahkan Nayla tak pernah diperbolehkan mandi di kamar ibu. Nayla mandi di kamar mandi pembantu. Sedangkan om Indra tidak saja leluasa tidur di kamar ibu. Om indra juga mandi di kamar ibu. Om Indra juga memegang kunci duplikat, ia bisa datang dan pergi kapan saja dengan bebas. Sebab itulah Nayla tahu, om Indra adalah tamu Istimewa. Om Indra adalah laki-laki yang ibu cintai melebihi om Billy, om Deni, dan om-om lainnya.

Nayla bercerita bahwa ibunya adalah sosok yang kuat, karena ia tidak pernah melihat ibunya mencintai laki-laki lain seperti ibunya mencintai om Indra. Ketika hubungan mereka berakhir, Nayla melihat ibunya terlihat biasa saja. Karena Nayla tak pernah melihat ibunya menangis maupun mengurung diri seperti teman-teman ibunya yang berkumpul di rumah membicarakan perselingkuhan suaminya 

Nayla melihat ibunya semakin kuat setelah putus dari om Indra. Ibunya semakin menyiksa Nayla bukan hanya menusuki vaginanya dengan peniti ketika ia mengompol, tetapi juga memukulinya tanpa sebab yang bisa diterima akal sehat. Ia beranggapan ibunya berkuasa, karena ibunya kuat sedangkan ia lemah untuk tidak merasa takut pada ibunya. 

Ia pernah mengalami kejadian tidak mengenakkan, dilakukan oleh om Indra yang membuat ia takut untuk mengatakan kepada ibunya. Om indra mengeluarkan ataupun menggesek-gesekkan penisnya ke tengkuknya. Ia memasukkan penisnya ke vagina Nayla. Om Indra memberitahu Nayla bahwa ia melakukan hal itu supaya Nayla tidak mengompol. Nayla hanya bergeming ia tidak merasakan apapun. Sebab Nayla sudah terbiasa dengan tusukan peniti Ibu. Hatinya pun tidak terasa sesakit ketika ibu melakukannya, ia berdiam diri dan menerimanya itu semua demi ibu. Karena Ibu mencintai om Indra. Nayla berpikir sudah selayaknya seorang anak berbakti kepada ibunya.

Pada akhirnya om Indra dan ibu putus dikarenakan ibu melihat om Indra menggauli pembantu yang hamil. Nayla melihat ibunya dengan gagah mengusir om Indra pergi. Walaupun Ibunya tidak memberikan hukuman ke om Indra sedikit pun seperti menusuki penisnya terlebih dahulu dengan peniti. 

Novel ini memiliki cerita yang sangat menarik, tetapi cocok untuk pembaca dewasa 18 tahun ke atas, bahasa yang digunakan mudah dipahami, memiliki berbagai sudut pandang dari berbagai tokoh yang ada. Memiliki berbagai pengalaman hidup yang dapat dipetik, penuh keberanian dan realistis, di cover depan novelnya memiliki pemberitahuan untuk pembaca dewasa. Akan tetapi, buku ini memiliki kekurangan di mana alurnya lompat-lompat sehingga pembaca akan dibuat bingung dengan alur ceritanya serta terdapat bahasa yang vulgar dan adegan seksual. 




Penulis: Kafita Azizah

Editor: M. Zacki P. Nasution