Marhaen, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) bersama dengan United Nations Population Fund (UNFPA) menggelar Talkshow dan Workshop Edukatif dengan tema “Kita Punya Andil, Gerak Bersama Untuk Bumi dan Perempuan” di President University. Kamis (16/10/2025).
Acara ini menyoroti keterkaitan antara krisis iklim dan ketidakadilan gender, terutama dampaknya terhadap perempuan di berbagai wilayah Indonesia. Komnas Perempuan memandang bahwa krisis iklim tidak hanya berdampak pada lingkungan dan ekonomi, tetapi juga memperdalam ketimpangan sosial dan memperburuk kerentanan perempuan.
Krisis iklim yang terjadi juga mengakibatkan ketidakadilan dan menambah kerentanan bagi perempuan. Karena perempuan khususnya ibu rumah tangga memiliki peran krusial pada keluarga, ia diberi beban sebagai penanggung jawab pangan yang ada di rumah. Sedangkan bahan pangan yang bergizi susah diakses dan bahan pokok mengalami kenaikan harga yang memperburuk ekonomi rumah tangga.
“Komnas Perempuan membaca bahwa antara krisis iklim sama dengan ketidakadilan gender. Krisis iklim, krisis ekonomi, hingga krisis sosial, semuanya saling terkait,” ucap Chatarina Pancer Istiani, selaku komisioner Komnas Perempuan.
Aktivitas perusahaan yang tidak berkelanjutan dan manusia yang merusak lingkungan menjadi pemicu utama terjadinya krisis iklim. Ini berdampak kepada ekonomi keluarga dan psikologis bagi masyarakat. Khususnya bagi perempuan nelayan di wilayah pesisir Indonesia.
“Ibu nelayan adalah sosok paling rentan, karena krisis iklim berdampak kepada ekonomi yang mengakibatkan mereka rawan terkena Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) maupun kekerasan lainnya,” tambahnya.
Selain itu, bencana alam seperti banjir dan kekeringan akibat perubahan iklim juga menambah beban perempuan. Mereka kerap dipaksa memikul tanggung jawab tambahan, mulai dari membersihkan rumah akibat bencana hingga mencari sumber air sampai pangan keluarga yang semakin sulit didapat.
Krisis iklim tidak hanya berdampak pada kesehatan, kondisi ekonomi keluarga dan sumber daya alam, tetapi terdapat ancaman lain seperti kekerasan seksual yang juga turut merentankan perempuan.
“Kalau dilihat kekerasan, selain psikis, fisik, juga ada kekerasan ekonomi dan kekerasan seksual. 80% narapidana di Maumere itu adalah narapidana yang melakukan kekerasan seksual, itu di satu kabupaten. Kalau dilihat di seluruh provinsi, 75% kasus kekerasan. Kalau dirunut apa ada hubungannya dengan krisis iklim? Iya, karena NTT masuk ke dalam pulau geothermal (Pulau Panas Bumi),” tambahnya.
Komnas Perempuan menilai kerentanan perempuan terhadap krisis iklim, merupakan bentuk nyata dari ketidakadilan gender, karena kebijakan dan peraturan yang ada belum menyentuh ranah kesetaraan tersebut. Ketidakhadiran para pemangku kebijakan dalam membuat peraturan, kian memperparah dampak yang diterima oleh perempuan.
Komnas Perempuan menegaskan bahwa upaya mitigasi krisis iklim harus melibatkan perspektif gender dan memperkuat peran perempuan adat sebagai penjaga bumi. Tanpa kebijakan yang berpihak, perempuan akan terus menjadi kelompok paling terdampak dalam setiap krisis yang melanda bumi.
“Kata ‘perempuan’ tidak ada di dalam kebijakan iklim kita. Padahal, dampaknya sangat menyangkut ranah reproduksi dan kesehatan perempuan,” tutupnya.
Penulis: Dinda Aulia
Editor: Reysa Aura P.





0 Comments