Beberapa waktu lalu, jagat media sosial diramaikan oleh “Tepuk Sakinah”, yang juga digunakan dalam Bimbingan Perkawinan (Binwin). Gerakan ini diklaim memiliki tujuan untuk memperkuat pondasi keluarga dan merekatkan kebahagiaan rumah tangga. Aksi tepuk tangan yang dikemas dalam narasi religius ini langsung menyebar cepat bak virus, hingga berbagai kalangan mempraktikkan dan menyanyikan lagu tersebut dalam berbagai kesempatan.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kementerian Agama (Humas Kemenag), Thobib Al Ashar, membenarkan pernyataan itu, bahwa dengan menghafal tepuk sakinah dinilai bisa menekan angka perceraian, “Oh iya, kalau itu (menekan angka perceraian). Artinya kan bahwa keluarga itu nantinya memiliki pemahaman yang utuh terkait dengan bagaimana membangun keluarga sakinah itu dengan menghafalkan pilar itu,” ujarnya di Antara Heritage, Jakarta Pusat, dikutip dari Kompas.com pada Kamis (25/9/2025).
Namun, di balik partisipasi khalayak dan klaim pembenaran, yang sebenarnya terjadi hanyalah perayaan atas kebisingan simbolik yang tidak menyentuh akar dari persoalan keluarga sesungguhnya. Fenomena ini menegaskan kembali karakter masyarakat Indonesia yang cenderung mencintai simbol hingga melupakan substansi. “Tepuk Sakinah” seolah menjadi pembenaran atas kegagapan kita dalam merumuskan solusi nyata untuk problem keluarga yang kian kompleks.
Sementara tepuk tangan bergema, realitas sosial justru menampar dengan keras. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pada tahun 2024 ada 399.921 pasangan bercerai. Banyak dari perceraian itu disebabkan oleh perselisihan serta pertengkaran suami istri, faktor ekonomi, Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan belum lagi masalah patriarkal yang masih kental pada masyarakat Indonesia.
Persoalan-persoalan struktural seperti ini jelas mustahil diselesaikan hanya dengan sekadar tepuk tangan dan slogan. Berhadapan dengan data suram di atas, kehadiran “Tepuk Sakinah” terkesan hanya menawarkan simbol dan seruan tanpa solusi nyata. Gerakan ini justru mengalihkan perhatian dari kebutuhan akan pentingnya edukasi komunikasi pasangan yang komprehensif dan solusi ekonomi yang konkret.
Di balik riuhnya euforia “Tepuk Sakinah” terselip sebuah mekanisme psikologi kolektif yang bernama efek plasebo. Layaknya pil plasebo dalam medis yang mampu meredakan gejala hanya karena pasien yakin, partisipasi dalam ritual komunal yang penuh semangat ini juga menciptakan ilusi psikologis seolah masalah dalam rumah tangga telah diatasi atau setidaknya sedang ditangani.
Dampak paling berbahaya dari efek plasebo ini adalah mengurangnya daya pikir kritis kita. Ketika rasa cemas dan tidak puas terhadap kondisi keluarga berhasil diredam oleh semangat semu dari nyanyian serta tepuk tangan, maka dorongan untuk menuntut solusi yang lebih sistemik juga akan semakin melemah. Masyarakat akan lebih mudah puas dengan jawaban-jawaban simbolik, sementara akar masalah terus dibiarkan tumbuh dalam diam.
Padahal, persoalan seperti KDRT, ketimpangan ekonomi dan budaya patriarki yang masih mengakar memerlukan intervensi nyata dari berbagai pihak. Pemerintah, lembaga pendidikan dan organisasi masyarakat sipil seharusnya fokus pada program-program yang memperkuat komunikasi pasangan, memberikan akses konseling yang terjangkau dan memberdayakan ekonomi keluarga.
Tepuk Sakinah Hanya Salah Satu Solusi Simbolik Pemerintah
Mirisnya lagi, “Tepuk Sakinah” bukanlah fenomena tunggal. Gerakan ini hanyalah satu dari rentetan panjang solusi simbolik yang kerap dihadirkan pemerintah dan masyarakat dalam menanggapi persoalan sosial. Lagu anti-narkoba yang dinyanyikan serempak di sekolah dengan semangat seolah nyanyian itu adalah penangkal, sementara kebijakan pencegahan dan rehabilitasi pecandu narkoba masih timpang.
Sama halnya dengan kampanye anti korupsi, tergantung pada spanduk besar dengan slogan keren terpampang di jalanan seakan menjadi bukti keseriusan negara memerangi korupsi. Nyatanya, praktik korupsi kini sudah kian canggih, sistemik dan mengakar menggerogoti institusi layaknya tikus kelaparan dengan dampak mencapai sekitar Rp968,5 triliun atau hampir RP1 kuadriliun.
Pola ini bukanlah kebetulan, melainkan sebuah bentuk pelarian kolektif dari kompleksitas masalah yang sesungguhnya. Dengan menciptakan seremoni-seremoni yang mudah viral serta penuh euforia, kita membangun sebuah ilusi kolektif bahwa kewajiban moral dan sosial kita telah dituntaskan. Tepuk tangan, nyanyian juga spanduk seolah-olah menjadi pengganti yang sah untuk tindakan nyata, kebijakan yang berani, perubahan struktural dan sistemik yang sering kali rumit.
Jika dibiarkan budaya simbolik ini tidak hanya gagal menyelesaikan masalah, tetapi justru akan memperparahnya dengan meninabobokan kesadaran kritis masyarakat. Kita hanya menjadi bangsa yang pandai merayakan semangat, tetapi gagap dalam eksekusi, ahli dalam menciptakan slogan, tetapi lemah dalam membangun sistem yang berantakan. Akhirnya yang tersisa hanyalah racauan tepuk tangan dan nyanyian yang menggema, sementara akar permasalahan tetap membara dalam kobaran.
Budaya simbolik seperti tepuk sakinah ini hanya akan efektif jika benar-benar disertai tindakan nyata yang memang menyentuh akar permasalahan. Menganggap bahwa hanya dengan tepuk tangan akan meredam lonjakan perceraian adalah klaim berlebihan. Karena seharusnya pemerintah bisa memberikan lebih daripada hanya slogan atau ritual saja.
Penulis: Nandana Arieanta Putra P.
Editor: Reysa Aura P.





0 Comments