(Foto: Aksi di Depan Pengadilan Negeri Jakarta/Nandana) 

Marhaen, Jakarta - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan solidaritas jurnalis menolak gugatan senilai Rp200 miliar atas ganti rugi yang diajukan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman terhadap Tempo di depan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Senin (03/11/2025).

Langkah itu dianggap melanggar Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers yang mengatur bahwa sengketa pemberitaan seharusnya diselesaikan melalui Dewan Pers, bukan lewat pengadilan umum. 

Jurnalis Tempo, Raymundus Rikang, dalam orasinya menyampaikan bahwa ini bukan hanya persoalan Tempo sebagai media besar, tetapi jelas mengancam kebebasan pers di Indonesia.

“Saya kira, hari ini bukan hanya perkara soal Tempo saja, tetapi gugatan Amran adalah perkara kebebasan pers, kebebasan media di seluruh Indonesia, sekali saja para hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan Amran, maka matilah kebebasan pers di Indonesia,” tegas Raymundus Rikang di depan Gerbang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Kekhawatiran Raymundus Rikang bukan tanpa dasar. Data dari Reporters Without Borders (RSF) Tahun 2025 menunjukkan bahwa Indonesia berada pada peringkat 127 dari 180 negara dalam indeks kebebasan pers dunia, turun dari posisi 111 pada tahun sebelumnya. RSF dengan jelas menyoroti meningkatnya kasus intimidasi, gugatan hukum terhadap media, dan serangan digital bagi para jurnalis.

Francisca Christy jurnalis Tempo yang belum lama ini merasakan ‘teror kepala babi’ menilai selain menggunakan teror, ancaman, dan pembungkaman. Pemerintah juga menerapkan pembredelan gaya baru dengan menutup sektor bisnis untuk para jurnalis dan media yang mengkritik kebijakan pemerintah.  

“Represi terhadap jurnalis itu semakin macam-macam bentuknya selain teror ada juga upaya untuk menutup keran-keran bisnis industri media, karena keberlangsungan industri media adalah bisnisnya, maka kita melihat bahwa ini adalah bentuk pembredelan gaya baru, karena yang kemudian diganggu dan dicegah untuk kita tidak menulis lagi, tidak bersuara lagi, dan tidak kritis lagi adalah dengan mematikan bisnisnya,” ujar Francisca Christy ketika diwawancarai di depan Gerbang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Senin (03/11/2025). 

Ia menilai situasi ini muncul karena pemerintah tampaknya sudah tidak lagi memandang pers sebagai pengawas, melainkan menganggap jurnalis dan media yang mengkritik sebagai lawannya. Alih-alih mendorong kebebasan pers, pemerintah justru terlihat berupaya mengonsolidasikan media dan jurnalis agar sejalan dengan kehendak mereka.

Situasi inilah yang turut menggerakkan Adil Hasan, selaku koordinator lapangan aksi untuk memimpin para jurnalis dan pekerja media menyuarakan penolakan secara terbuka di pengadilan. Ia menekankan bahwa aksi tersebut bukan sekadar gugatan dalam bentuk uang, tetapi menjadi peringatan terhadap ancaman serius yang mengintai kebebasan pers di Indonesia.

“Tempo yang basisnya di Jakarta mendapatkan gugatan semacam ini apalagi media kecil, ini kan sangat berbahaya, Tempo yang secara etik sangat clear kemudian digugat oleh menteri, kami tidak bisa membayangkan kalau ini dikabulkan, media-media di daerah, media kecil, warga dan Persma (Pers Mahasiswa) itu akan lebih parah kondisinya,” ujar Adil Hasan ketika diwawancarai di depan Gerbang Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Selasa (03/11/2025). 




Penulis: Nandana Arieanta Putra P. 

Editor: Reysa Aura P.