(Foto: Persidangan Laras Faizati/Melihatindonesia.id) 

Nama Laras Faizati Khairunnisa mungkin tidak dikenal luas sebelumnya. Ia adalah perempuan muda yang menjadi tulang punggung keluarganya dan menjalani hidup sebagai warga biasa. Melalui media sosial, Laras menyampaikan pandangan dan kegelisahannya terkait kondisi negara yang ia alami secara langsung.

Namun, dari ruang digital itulah ia kemudian berhadapan dengan kekuatan negara yang jauh lebih besar. Laras dihadapkan pada tuntutan 1 tahun penjara dalam perkara dugaan penghasutan demonstrasi pada Agustus 2025. Apa yang dialami Laras mencerminkan semakin terbatasnya ruang kebebasan berpendapat di Indonesia, terutama bagi warga biasa yang berani menyuarakan pendapatnya.

Kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat bukanlah hal baru. Tetapi, hadirnya kasus Laras kembali menegaskan bahwa media sosial yang selama ini dianggap sebagai ruang aman untuk berekspresi, kini berubah menjadi ruang dengan penuh risiko. Ekspresi yang lahir dari kegelisahan bersama dapat dengan mudah diseret ke ranah hukum oleh kekuasaan.

Kini negara hadir bukan sebagai pelindung hak warganya, melainkan sebagai pihak yang merasa terganggu oleh suara kritis. Dalam kondisi seperti ini, batas antara kritik dan pelanggaran hukum menjadi kabur, menempatkan warga pada posisi yang rapuh, diliputi ketakutan, dan dipaksa menimbang risiko sebelum menyuarakan kegelisahannya.

Dalam situasi seperti ini, masyarakat membutuhkan ruang yang layak guna menyalurkan pandangan dan keresahannya. Kebebasan berpendapat hadir sebagai wadah bagi warga untuk menyampaikan pandangan yang tumbuh dari sebuah kegelisahan yang mereka rasakan. Ketika ruang ini dipersempit, negara kehilangan kesempatan untuk memahami kondisi nyata yang sedang terjadi di tengah masyarakat. 

Adanya pasal tentang kebebasan berpendapat yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat” seharusnya menjadi jaminan konstitusional bagi warga negara untuk menyampaikan pandangan tanpa rasa takut. Sayangnya, dalam praktik hukum hari ini bunyi pasal tersebut kerap berhenti sebagai teks normatif yang kehilangan makna ketika berhadapan dengan kekuasaan.

Banyak kalangan masyarakat menilai perkara yang menimpa Laras menunjukkan adanya ketimpangan dalam penerapan hukum. Mereka memandang negara lebih sigap menindak ekspresi warga di ruang digital, sementara persoalan kekerasan aparat yang telah merenggut banyak nyawa, termasuk seorang pengemudi ojek online, belum ditangani secara tuntas. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar mengenai keberadaan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Pertanyaan tentang keadilan sosial terus menggantung di ruang publik tanpa jawaban yang memadai. Kasus Laras membuka luka lama tentang cara negara memandang warganya sendiri, terutama mereka yang bersuara tanpa perlindungan dan dukungan kekuasaan. Dalam situasi ini, penerapan hukum sering kali tidak mempertimbangkan kondisi dan keterbatasan warga, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap institusi penegak hukum terus memudar.

Penggunaan hukum untuk membatasi ekspresi menciptakan jarak kekuasaan yang timpang antara warga dan negara. Warga sendiri ditempatkan pada posisi defensif sejak awal, sementara para aparat sendiri memiliki kebebasan dalam menentukan pasal yang digunakan. Ketidakpastian ini memunculkan rasa tidak adil di masyarakat, membuat hukum terasa mengancam dalam kehidupan sehari-hari.

Kasus Laras juga menunjukkan betapa rentannya kelompok tertentu dalam menghadapi proses hukum. Sebagai perempuan muda yang menjadi tulang punggung keluarga, Laras harus menghadapi tekanan sosial dan beban ekonomi secara bersamaan, sementara proses hukum yang dijalaninya menguras waktu, tenaga, dan biaya tanpa dukungan yang memadai dari negara.

Tanggung jawab negara seharusnya terletak pada penciptaan ekosistem hukum yang adil dan proporsional. Penegakan hukum perlu diarahkan pada perlindungan keselamatan publik dan pemenuhan hak asasi manusia, bukan pada pembungkaman ekspresi terhadap warga. Untuk itu, aparat penegak hukum seharusnya perlu bekerja dengan aturan yang jelas agar kritik warga tidak mudah ditarik ke ranah hukum.

Penegakan hukum yang adil harus didasarkan pada pertimbangan matang serta rasa keadilan bagi manusia. Hukum semestinya bekerja dengan memperhatikan konteks sosial, dampak psikologis, dan konsekuensi ekonomi bagi warga. Kasus seperti Laras memperlihatkan betapa besar jarak antara prosedur hukum dan keadilan yang dirasakan masyarakat.

Ketimpangan ini memperlihatkan cara hukum dijalankan tanpa kepekaan terhadap rasa keadilan. Warga yang posisinya lemah lebih dulu merasakan tekanan, sementara persoalan yang menyentuh kepentingan publik berjalan tanpa kepastian. Keadaan ini perlahan mengikis kepercayaan masyarakat, hingga banyak orang memilih menahan pendapat karena merasa suaranya tak lagi mendapat ruang yang layak. 

Dampak dari kondisi ini tidak hanya menimpa satu atau dua individu, melainkan dirasakan secara kolektif oleh seluruh lapisan masyarakat. Ketidakadilan terus dibiarkan membentuk rasa terancam yang meluas, seolah setiap warga berpotensi menjadi korban berikutnya. Situasi tersebut mengganggu tatanan sosial secara menyeluruh dan menumbuhkan kecemasan bersama dalam kehidupan publik.

Kedepannya, negara harus lebih memperbaiki cara pandangnya terhadap kritik warga. Pemerintah dan aparat penegak hukum perlu membangun pendekatan yang mengedepankan perlindungan hak asasi manusia dan dialog terbuka. Ruang publik yang sehat akan mendorong partisipasi, kepercayaan, dan keterlibatan warga dalam kehidupan bernegara. Dengan menjaga kebebasan berpendapat sebagai nilai utama, Indonesia dapat melangkah menuju tatanan sosial yang lebih adil dan manusiawi.




Penulis: Nesya Ajeng Murtiatin

Editor: Reysa Aura P.