Marhaen, Jakarta - Perempuan Mahardhika menggelar Konferensi Pers dengan tema “PP (Peraturan Pemerintah) Pengupahan 2026 adalah Kebijakan yang Mengabaikan Hidup dan Kerja Perempuan” yang diselenggarakan melalui Zoom dan dapat diputar ulang dalam kanal YouTube Mahardhika Multimedia. Senin (22/12/2025).
Konferensi pers ini juga dimulai pada 22 Desember yang dimaknai oleh Perempuan Mahardhika sebagai Hari Pergerakan Perempuan. Atas dasar itu, konferensi pers ini berisi tentang ruang perlawanan terhadap berbagai kebijakan yang dinilai menindas, salah satunya ialah upah murah yang tidak berbasis kebutuhan hidup riil.
Dalam slide presentasi berjudul “Upah Malah Dibatasi Bukan Dilindungi”, Ajeng dari Perempuan Mahardhika menjelaskan, upah minimum buruh seharusnya dijadikan perlindungan agar pekerja dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Ia menyoroti bahwa proses revisi yang hanya dilakukan setahun sekali ini membuat ketimpangan buruh dan pengusaha terus berlanjut.
“Sudahlah upahnya minimum seharusnya kan dijadikan alat perlindungan ya agar buruh tetap hidup layak. Tetapi dalam PP ini justru dijadikan alat pengendalian agar kenaikan tidak dianggap mengganggu kepentingan ekonomi pengusaha. Terlihat dari pertimbangan yang ada dalam PP tersebut, masih menyebutkan tentang kestabilan ekonomi dan kestabilan usaha dalam mempertimbangkan kenaikan upah. Padahal, upah seharusnya menjadi alat perlindungan dari situasi krisis di mana buruh bahkan tidak punya cukup uang untuk membeli kebutuhan hidup sehari-hari,” ujar Ajeng dari Perempuan Mahardhika.
Kritik Perempuan Mahardhika semakin tajam saat Ajeng menyoroti dampak PP ini terhadap buruh perempuan, khususnya di sektor informal yang menurut data BPS (Badan Pusat Statistik) tahun 2023 jumlahnya mendominasi hingga 64,25%. Ia menilai pemerintah menutup mata terhadap realita bahwa mayoritas warganya terutama perempuan bekerja di luar sektor formal yang tidak terlindungi oleh regulasi pengupahan ini.
“Kontribusi yang dimaksudkan (pemerintah) juga masih menggunakan logika sektor formal. Sedangkan, saat ini jumlah pekerja di sektor kerja yang diinformalkan lebih banyak secara jumlah dan perempuan paling banyak bekerja dalam sektor-sektor yang diinformalkan tersebut. Misalnya saja pekerja rumah tangga, sampai saat ini UU PRT (Undang-Undang Pekerja Rumah Tangga) belum disahkan,” ujarnya kembali.
Ajeng menekankan bahwa logika pemerintah tersebut telah mengabaikan kerja-kerja domestik perempuan yang sebenarnya menjadi mesin penggerak ekonomi yang tak terlihat. Ia kemudian mencontohkan nasib Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang hingga kini masih terombang-ambing tanpa perlindungan yang jelas.
“Bahkan bagi buruh perempuan, tidak hanya ranah publik, kita bekerja juga sejak kita bangun tidur di ranah domestik, kita berkontribusi sebagai perempuan untuk pertumbuhan ekonomi. Kita yang membeli bahan makan, kita yang mengolah bahan makanan hingga menjadi tenaga bagi para pekerja untuk menghasilkan produksi. Kita juga yang membeli hasil produksinya, dan kita yang menggunakan hasil kontribusinya untuk melanjutkan kehidupan bagi masyarakat Indonesia.”
Menurutnya, tanpa kerja-kerja domestik yang dilakukan perempuan, rantai produksi tidak akan berjalan karena kebutuhan dasar para pekerja terpenuhi. Peran penting tersebut tetap tidak tercermin secara adil dalam penetapan upah dan hanya dimasukkan melalui skema indeks yang tidak transparan.
Nahasnya, ketika kontribusi besar ini tidak dihargai dengan upah layak, buruh perempuan justru menjadi pihak yang paling rentan terjerat krisis keuangan. Kondisi ini semakin berat karena beban pengelolaan kebutuhan rumah tangga umumnya juga dipikul oleh perempuan.
"Hutang-hutang seperti pinjol (pinjaman online) itu lebih banyak peminjamnya adalah perempuan karena perempuan dibebankan pada tanggung jawab untuk menyediakan makan di meja agar satu keluarga bisa makan. Bagaimana perempuan bisa menghitung pengeluaran dan membagikan pengeluaran tersebut dengan upah kecil tanpa berhutang?” lanjutnya.
PP pengupahan 2026 dinilai belum menyentuh masalah nyata yang dihadapi buruh perempuan terutama pada sektor informal. Kebijakan ini dianggap lebih mengutamakan stabilitas usaha dibanding menjamin hidup layak para pekerja, sehingga ketimpangan upah tetap melebar dan perempuan masih berada di posisi paling rentan.
Penulis: Nandana Arieanta Putra P.
Editor: Reysa Aura P.





0 Comments